
Wacana Penambahan dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Ancam Demokrasi

Tangkapan layar YouTube, Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah Titi Anggraini/Iconomics
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden dengan mengubah UUD 1945 dinilai dapat melemahkan regenerasi politik. Juga bisa menghambat kader partai dan warga negara khususnya kelompok muda dan perempuan untuk terlibat mengakses pencalonan presiden dan wakil presiden.
Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah Titi Anggraini mengatakan, kelompok yang paling dirugikan dengan adanya wacana presiden 3 perode itu adalah kelompok muda dan perempuan. Sebab, untuk sekarang saja 2 kelompok tersebut paling terdiskriminasi dalam akses terhadap pencalonan.
“Apalagi di Pilpres tidak ada alternatif action untuk perempuan misalnya, maka akan semakin sempit ruang-ruang itu ketika diberlakukan masa jabatan 3 periode,” kata Titi dalam sebuah diskusi virtual beberapa waktu lalu.
Menurut Titi, presiden 2 periode dengan masa waktu jabatan 5 tahun cocok dengan kultur Indonesia. Alasannya dengan masa waktu tersebut tidak terlalu lama untuk mengukur kinerja presiden berkuasa dalam menepati dan memenuhi janji-janji kampanyenya.
“Juga tidak terlalu lama untuk memberi kesempatan bagi rakyat untuk menilai kinerja dan kepemimpinan presiden yang menjabat apakah layak untuk terus berkuasa ataukah diganti sosok yang lebih tepat,” kata Titi.
Selain itu, kata Titi, masa jabatan presiden 5 tahun untuk 2 periode merupakan buah dari refleksi mendalam atas perjalanan sejarah kepemimpinan politik Indonesia. Pergulatan hukum yang dikonstruksi sebagai produk reformasi yang inklusif untuk mencegah lahirnya kekuasaan yang otoriter dan terpusat kepada individu.
“Memberi efek ikutan kepada petahana untuk menjaga performa, dan juga rakyat untuk terlibat dalam mengawasi kinerja presiden berkuasa. Mekanisme kontrol yang memberi insentif pada penguatan kultur kewargaan masyarakat,” ujar Titi.
Di sisi lain, kata Titi, kekhawatiran publik mengenai rencana amandemen konstitusi yang berkaitan dengan wacana memperpanjang masa jabatan presiden menjadi sesuatu hal yang bisa dipahami dan sangat beralasan. Apalagi ada kelompok-kelompok yang terbuka mendukung presiden 3 periode dan mengkampanyekannya secara luas.
“Beberapa di antaranya merupakan pendukung Presiden Joko Widodo pada pemilu terdahulu,” tutur Titi.
Karena itu, kata Titi, semua yang memiliki otoritas dapat mengambil sikap dan menghindari penghalusan atau eufemisme dalam meresponsnya. Saat ini dibutuhkan setidaknya suatu diksi dan narasi yang tegas soal penolakan wacana masa jabatan presiden 3 periode.
“Harusnya secara tegas menggunakan alasan menolak secara mendasar bahwa wacana masa jabatan presiden 3 periode maupun perpanjangan masa jabatan presiden melalui penundaan pemilu, secara substansi dan filosofis mengancam kredibilitas demokrasi Indonesia dan bisa menimbulkan krisis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya.
Leave a reply
