
Tim Kejagung Akan Bentuk Penyidik Koneksitas untuk Kasus Slot Orbit 123 Derajat BT

Tangkapan layar, Jaksa Agung ST Burhanuddin/Iconomics
Kejaksaan Agung akan menangani perkara dugaan korupsi pengadaan Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan secara koneksitas. Apalagi dugaan korupsi itu disebutkan melibatkan unsur TNI dan sipil.
“Berdasarkan hasil materi paparan tim penyidik disimpulkan terdapat 2 unsur tindak pidana korupsi yang diduga ada keterlibatan dari unsur TNI dan unsur sipil.,” kata Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam keterangan resminya, Jakarta, Senin (14/2).
Berdasarkan fakta itu, kata Burhanuddin, pihaknya sebagai Jaksa Agung menugaskan Jaksa Agung Muda Pidana Militer untuk berkoordinasi dengan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI dan Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI. Koordinasi itu antara lain untuk membentuk penyidik koneksitas perkara tersebut.
Dari tim penyidik tersebut, kata Burhanuddin, diharapkan akan segera menetapkan tersangka dalam dugaan korupsi Slot Orbit 123 pada Kemenhan.
“Saya selaku Jaksa Agung RI, sesuai dengan Pasal 39 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengkoordinasikan dan mengendalikan penyidikan serta penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk peradilan umum dan peradilan militer,” kata Burhanuddin.
Sejak Senin (14/2) pagi tadi tim Kejaksaan Agung menggelar perkara dugaan korupsi Slot Orbit 123 Bujur Timur bersama jajaran Puspom TNI, Babinkum TNI, dan pihak dari Kemenhan.
Kisah Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur bermula sejak Satelit Garuda-1 keluar orbit pada 19 Januari 2015. Fakta itu membuat terjadinya kekosongan pengelolaan oeh Indonesia. Berdasarkan aturanInternational Telecommunication Union (ITU) yang ada di bawah PBB, negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu 3 tahun untuk kembali mengisi slot itu. Jika tak dipenuhi maka slot dapat digunakan negara lain.
Slot ini dikelola Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kementerian Pertahanan lantas meminta hak pengelolaan yang beralasan pembangunan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Untuk mengisi slot itu, mereka menyewa Satelit Artemis yang merupakan satelit sementara pengisi orbit (floater) milik Avanti Communication Limited (Avanti).
Dari sini masalah mulai muncul. Kemenhan membuat kontrak dengan Avanti padahal belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut. Kontrak dengan Avanti diteken pada 6 Desember 2015, padahal persetujuan di Kominfo untuk pengelolaan Slot Orbit 123 baru keluar 29 Januari 2016.
Selain dengan Avanti, Kemenhan juga melakukan kontrak dengan Navajo, Airbus, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu 2015-2016. Saat itu juga anggaran belum tersedia. Pada 2016 anggaran sempat tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemenhan.
Selanjutnya, Kemenhan mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 Bujur Timur kepada Kemenkominfo pada 25 Juni 2018. Di bawah Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Rudiantara, keputusan tentang penggunaan filing satelit Indonesia pada Orbit 123 Bujur Timur untuk filing satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A diberikan pada pihak swasta, yakni PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK).
Bertahun berlalu, PT DNK juga tak mampu menyelesaikan residu permasalahan akibat Satkomhan. Malah, Avanti kemudian menggugat Indonesia ke Pengadilan Arbitrase Inggris. Mereka menuding Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang ditandatangani.
Pada 9 Juli 2019, Pengadilan Arbitrase Inggris memutus Indonesia harus membayar denda sebesar Rp 515 miliar. Denda itu terkait dengan biaya sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, biaya filing satelit.
Belum selesai di situ, belakangan Navajo juga menggugat Indonesia. Kali ini di Pengadilan Arbitrase Singapura. Sama halnya dengan di Inggris, pengadilan juga memutus Indonesia harus membayar denda. Kali ini besarnya Rp 304 miliar.
Leave a reply
