
PP soal Jaminan Kehilangan Pekerjaan Dinilai Diskriminatif sehingga Perlu Direvisi

Tangkapan layar YouTube, anggota Komisi IX DPR Ashabul Kahfi/Iconomics
Kementerian Ketenagakerjaan diminta merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Pasalnya, aturan tersebut dinilai diskriminatif terhadap pekerja karena harus membayarkan iuran 0,45% dari pendapatannya.
Menurut anggota Komisi IX DPR Ashabul Kahfi, salah satu unsur diskriminatif yang termuat dalam aturan tersebut soal subsidi sebesar 0,22% yang hanya menyasar pekerja sektor formal. Sementara sektor informal tidak mendapat subsidi dan merujuk kepada data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlahnya mencapai sekitar 74 juta pekerja.
“Kan sama-sama warga negara. Sama-sama terdampak dengan JKP ini. Saya kira ini perlu kita evaluasi kembali, ya kalau mau disubsidi, ini subsidi semua, atau sekalian tidak perlu ada subsidi. Ini kan diskriminasi,” kata Ashabul di Kompleks Parlemen, Selasa (28/9).
Dalam penerapan program JKP, kata Ashabul, masih terdapat faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan sosial. Berdasarkan data yang dimilikinya, penerima subsidi dari program jaminan pensiun mencapai 12,5 juta pekerja, kemudian jaminan hari tua sebanyak 15,7 juta orang, jaminan kecelakaan kerja serta jaminan kematian sebanyak 30,1 juta pekerja.
“Jadi totalnya hanya sekitar 50 jutaan. Sementara di sektor informal saja itu ada 74 juta pekerja. Subsidi ini kan hanya menjangkau sebagian kecil pekerja yang ada di Indonesia. Belum menjangkau pekerja khususnya di sektor informal,” kata Ashabul.
Sementara dari sisi manfaat, kata Ashabul, jumlah besaran dana yang diberikan dari program JKP untuk pekerja dinilai masih jauh dari kesejahteraan. Semisal, merujuk kepada upah minimum regional yang ada di DKI Jakarta yakni sebesar Rp 4,4 juta.
Manfaat yang diterima pekerja, kata Ashabul, terhitung paling banyak selama 6 bulan dengan ketentuan sebesar 45% dari upah 3 bulan pertama. Lalu, 25% untuk 3 bulan berikutnya.
“DKI itu UMR-nya Rp 4,4 juta, kalau bulan pertama sampai bulan ketiga mereka mendapat Rp 1,9 juta. Lalu, bulan ke-4 sampai bulan ke-6 itu mendapat Rp 1,1 juta. Totalnya selama 6 bulan itu 9,7 juta. Bandingkan dengan jumlah Yogyakarta yang UMP-nya hanya Rp 1,7 juta, totalnya dalam 6 bulan hanya Rp 3,7 juta, nah sementara BPS menyebut bahwa garis kemiskinan itu adalah Rp 458 ribu per kapita,” kata Ashabul.
Dari perhitungan tersebut, kata Ashabul, perlu adanya peninjauan kembali mengenai PP tersebut. Terlebih saat ini Indonesia sedang dilanda pandemi Covid-19, yang menyebabkan banyaknya pekerja baik sektor formal maupun informal kehilangan pekerjaan.
“Sementara hari ini saja, dampak pandemi ada 2,7 juta warga miskin baru di Indonesia. Orang dalam 6 bulan mendapat pendapatan segini kan tidak ada jaminan bahwa setelah 6 bulan sudah bisa mendapatkan pekerjaan baru,” katanya.
Leave a reply
