
Pengamat: Wacana Amandemen untuk Masa Jabatan Presiden Tidak Relevan

Peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro/Lensa Indonesia
Wacana penambahan periode masa jabatan presiden hingga 3 kali dinilai tidak relevan dan bertentangan dengan gerakan reformasi yang digaungkan rakyat pada 1998. Karena itu, soal perencanaan pembangunan nasional tidak perlu dilakukan melalui amandemen UUD 1945 sehingga pemerintah, DPR dan MPR perlu mencarikan solusi dengan cara lain.
“Jadi reformulasi ini dilakukan dengan membuat haluan pembangunan nasional yang berlaku untuk jangka panjang yang dikemas dengan produk hukum kuat, sehingga setiap ganti presiden harus dipastikan bahwa penyusunan program pembangunan itu berdasarkan janji kampanyenya. Tidak menyimpang dari haluan pembangunan nasional yang telah disepakati bersama oleh segenap komponen bangsa,” kata peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro dalam sebuah diskusi virtual, Senin (13/9).
Menurut Siti, para pihak yang memiliki kewenangan untuk memberi kepastian soal wacana amandemen UUD yang berkaitan dengan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Dengan demikian, spekulasi yang dapat menyebabkan polemik di kalangan masyarakat bisa dihindarkan.
“Kalaupun memang harus ada amandemen konstitusi, amandemen secara komprehensif karena memang kita temukan, kita meneliti tentang sistem perwakilan betapa ketatanegaraan ini dipayungi dengan amandemen yang masih terdapat lubang-lubang. Itu tolong disempurnakan,” kata Siti.
Meski konstitusi mengatur soal amandemen, kata Siti, masih ada kekhawatiran apabila pembahasan sudah masuk dalam tahap PPHN. Jika kekuatan politik memegang kendali, maka tidak ada satupun pihak yang dapat menjamin bahwa pelaksanaan amandemen terbebas dari kepentingan politik.
“Masyarakat tidak diperhitungkan dalam hal ini, jadi kekuatan politik saja. Ini masalahnya siapa yang bisa menjamin, bahwa tidak akan muncul 3 periode, sementara amandemen untuk Garis Besar Haluan Negara (GBHN) itu juga urgensinya masih jadi pertanyaan besar di publik,” kata Siti.
Karena itu, kata Siti, semua masyaraka secara bersama-sama dengan sadar untuk berpartisipasi aktif dalam menjaga jalannya sistem demokrasi yang ada saat ini. Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga marwah demokrasi di Indonesia dan sebagai bentuk berjalannya sistem pemerintahan yang sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
“Jadi kalau masyarakat itu menunjukkan kesadaran lalu berpartisipasi, itu concern terhadap NKRI, menurut saya justru penguasa ini harus bersyukur. Sebab, bagaimanapun juga ada ownership dari warga negara yang menunjukkan masalah krusial yang sedang dihadapi baik itu dari masalah perspektif kebangsaan maupun keumatan. Di situ masyarakat memang diperlukan untuk ikut serta menanggulangi bersama,” kata Siti.
Leave a reply
