Menepis Stigma Esports dengan Bukti

Stigma tak jarang melekat pada esports. Tentunya tidak bijak melakukan pandangan pukul rata kepada pegiat esports yang malas dan kurang pendidikan. Sanggahan ini dibuktikan dengan tindakan dan fakta.

Professional esports talent, speaker & consultant Lius Andre mengatakan bahwa para pro player pun banyak yang telah lulus S1 dan memperoleh gelar sarjana.

“Di lapangan banyak professional player yang bermain game sambil juga menyelesaikan S1 bahkan tetap bersekolah dengan homeschooling karena menganggap pendidikan itu memang penting,” kata Lius dalam keterangan resmi.

Head of Garudaku Academy Robertus Aditya membeberkan stigma parah yang ada di industri esports.

“Esports enggak ada masa depannya, esports kan hanya main games, bahkan banyak ahli olahraga yang mempertanyakan sisi olahraganya esports. Padahal, sejak pandemi, esports mengalami pertumbuhan pesat dan membuka banyak lapangan pekerjaan baru,” kata Robertus.

Ia menjelaskan dalam semua hal pasti ada risikonya, dalam bidang karier apapun, termasuk karier di industri esports. Hanya saja, pegiat esports harus bisa mengubah risiko-risiko tersebut menjadi peluang yang baik. Ia mengatakan orang yang bisa melihat dan memanfaatkan peluang adalah orang yang bisa survive dalam karier apapun.

“Di depan layar, karier sebagai pro player itu memang risky. Namun, di belakang layar, kariernya bisa jadi lebih stable. Berbekal pendidikan yang ada, ilmu-ilmu cara berbisnis, mereka harus bisa memutar penghasilannya,” kata Lius.

SVP UniPin Community Debora Imanuella menambahkan bahwa industri esports yang tengah berkembang amat pesat ini masih butuh tenaga dan talenta-talenta di luar sana untuk mendukungnya. Ia mengajak agar semua berlomba-lomba untuk masuk ke industri esports.