
Peta Baru Dunia Islam Pasca Pelantikan Trump

Ketua DPP Partai Gelora, Tengku Zulkifli Usman/Dok. Ist
Kondisi geopolitik global saat ini memasuki era baru dengan 3 indikator penting. Pertama, perang di Ukraina adalah perang besar pertama di benua Eropa pasca perang dunia kedua. Kedua, bangkitnya beberapa negara menjadi kekuatan baru dalam sistem multipolar yang dipimpin China dan Rusia. Ketiga, dunia Islam dan Timur Tengah menjadi ladang pertempuran baru kekuatan great power.
Amerika Serikat (AS) masih menjadikan dunia Islam dan Timur Tengah sebagai lahan baru geopoltik dengan pendekatan lebih radikal di bawah Presiden Donald Trump. Presiden Trump yang baru dilantik kemarin akan banyak fokus pada isu-isu dalam negeri, mengingat kondisi AS secara internal saat ini tidak baik-baik saja. Baik secara politik maupun ekonomi.
Sedangkan, pada isu-isu luar negeri (foreign affairs) Trump akan fokus pada 3 masalah pokok, yakni perang Ukraina, perang dagang dengan China, dan kondisi geopolitik di Timur Tengah dalam konteks terus menjaga eksistensi Israel.
Perang Ukraina misalkan, masih sangat sulit dihentikan, meski Trump menginginkan perang ini diakhiri. Persoalan mendasarnya adalah Vladimir Putin dan Rusia tidak lagi percaya kepada dunia barat, siapapun Presiden AS yang memimpin.
Perang dengan China adalah bagian dari perang panjang dengan pendekatan dua jenis perlawanan sekaligus, soft dan hard power narrative dalam waktu yang sama.
Disisi lain, Trump kemungkinan besar tidak akan mampu melanjutkan misinya saat periode pertama (2016-2020) di periode kedua (2025-2029) dengan mulus.
Faktor penting yang mempengaruhi semua itu adalah kebijakan Joe Biden selama 4 tahun belakangan yang sudah sangat radikal dalam pendekatan terutama dengan Rusia. Pendekatan Biden terhadap Rusia 4 tahun belakangan ini, menjadikan Rusia lebih dekat dengan China dan blok anti barat, Rusia – China – Iran – Korea Utara.
Era Presiden Biden adalah era paling krusial yang dihadapi AS dalam politik luar negeri mereka, sejak pecah perang di Ukraina pada Febuari 2022 lalu, dunia mengalami perubahan secara radikal dan semakin memperkuat sistem multipolar yang sudah dimulai setahun setelah Trump menjadi presiden AS periode pertama.
Ada beberapa kejadian penting di era Trump periode pertama, yakni keluarnya Inggris dari Eropa, dimulainya China Containment Policy, pandemi Covid-19, pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel sekaligus pengakuan terhadap dataran tinggi Golan sebagai wilayah Israel, dan peta baru Timur Tengah di bawah proyek Abraham Accords.
Ke depan, AS akan semakin agresif dalam perang dagang dengan China sebagai kelanjutan China Containment Policy Trump Januari 2018 silam, dan Trump akan berupaya terus mencari jalan keluar atas perang di Ukraina yang sudah mau memasuki tahun keempat.
Dalam konteks Timur Tengah, AS membawa peta baru dengan Israel setelah perang pecah dengan Hamas 7 Oktober 2023 silam, yang berakhir dengan gencatan senjata pada 19 Januari 2025. Gencatan senjata Israel dan Hamas kemarin bukanlah hal baru dan perkembangan yang signifikan, ini hanya bagian dari awal peta besar Trump dengan Netanyahu yang akan segera dimulai lagi di Timur Tengah.
Gencatan senjata ini seperti sebuah hadiah Netanyahu kepada Trump sebelum Trump dilantik sebagai Presiden. Sebagai kompensasinya, Trump nanti akan memberikan lebih banyak konsesi kepada Israel di masa-masa pemerintahan Trump. Trump adalah salah satu presiden AS paling pro Israel dan pendirian negara Yahudi. Masa-masa sulit mungkin akan terus menanti Palestina di masa-masa mendatang meski gencatan senjata sudah ditandatangani.
Pasca perang dengan Hamas dan seluruh proxy Iran selama 15 bulan, Iran mengalami kekalahan paling strategis dalam sejarah konflik dengan Israel, antara lain, kekalahan strategis Hizbullah, kacaunya program program nuklir Iran, dan terakhir adalah tumbangnya pemerintahan Bashar Assad di Suriah.
Suriah saat ini menjadi proxy AS baru. Kasus Suriah adalah metode biasa yang dipakai AS dengan memakai kaum Islamis untuk menggusur musuhnya. Pola yang sama yang dipakai AS di Afghanistan pada era perang melawan Soviet. Apa yang terjadi di Suriah sekarang adalah cara AS melakukan rebranding kaum Islamis untuk dijadikan sekutu baru mereka di Timur Tengah.
Pemerintah baru Suriah di bawah pimpinan mantan aktivis Al-Qaeda, Ahmad Hussein Syara’ atau Abu Muhammad Al Jaulani segera mendapatkan pengakuan dan support dari AS, setelah AS berhasil mem-branding mereka sebagai gerakan Islam moderat.
Dalam kasus tergulingnya pemerintahan Assad, Trump melihat ada peluang berbicara dengan Putin. Syaratnya, semua kepentingan Rusia di Suriah tidak diganggu pasca Assad tumbang, Rusia adalah pendukung Assad nomor wahid sejak terjadi revolusi Arab Spring 2011, dan terutama sejak 2015 saat Rusia terlibat langsung secara militer mendukung pemerintahan Bashar Assad.
Skenario Suriah yang akan dipakai Trump untuk membuka jalan bagi pembicaraan perang di Ukraina dengan Rusia memiliki dua kemungkinan, bisa sukses atau bisa juga gagal karena ditolak Putin. Karena bolanya ada di tangan Putin.
Tapi yang pasti, tumbangnya Bashar Assad adalah kekalahan terbesar Iran di kawasan. Yang paling babak belur dalam insiden tumbangnya Assad adalah Iran. Sedangkan yang sedang mencari pola baru geopoltik di kawasan itu adalah Turki dan Israel.
Yang paling diuntungkan dengan tumbangnya Assad adalah Israel. Pada dasarnya, keruntuhan Rezim Suriah adalah cara AS melindungi Israel. Maka tidak heran, setelah Assad tumbang, Israel lebih leluasa melakukan serangan militer ke Suriah, terutama wilayah yang dianggap menjadi ancaman bagi keamanan Israel seperti dataran tinggi Golan dan sekitarnya.
Pemerintahan AS pada dasarnya menjadikan Timur Tengah sebagai negara proxy dengan tujuan sangat spesifik, kepentingan ekonomi, membendung pertumbuhan Islamis, dan men-counter Iran agar tidak menjadi negara kuat. Bilamana Iran menjadi negara kuat, artinya poros Rusia dan pengaruh dunia multipolar semakin menguat di Timur Tengah. Hal itu yang tidak diinginkan AS.
Sejak revolusi Islam Iran 1979, AS mengerahkan semua tenaga dan memindahkan banyak aset-aset militer ke Timur Tengah dan Asia Barat. Tujuannya sangat spesifik, men-counter pengaruh Iran di seluruh kawasan Timur Tengah dan Asia Barat dengan bantuan semua negara proxy AS, termasuk Arab Saudi, Mesir, dll.
Pasca gencatan senjata dengan Hamas, peta baru Trump dengan Netanyahu di Timur Tengah sejatinya baru dimulai. Proyek Abraham Accords yang dilanjutkan Trump di periode pertama kemungkinan akan semakin ditingkatkan dengan cara dan metode yang lain, untuk kepentingan Israel yang lebih besar.
Peta geopoltik global era Trump akan sangat merugikan dunia Islam, Timur Tengah, dan semua kekuatan oposisi AS di seluruh dunia. Trump kemungkinan akan mulus melaksanakan semua proyek-proyeknya tersebut kecuali dalam konteks melawan China dan Rusia.
China dan Rusia akan menjadi batu sandungan terbesar Trump 4 tahun mendatang. Perang dagang dengan China dan negosiasi dengan Rusia di Ukraina bukan hal yang mudah dieksekusi oleh Trump.
Kalau kita melihat kondisi dan perkembangan terbaru, koalisi Trump dan Netanyahu akan membawa bencana lebih besar terhadap Timur Tengah dan khususnya kasus Palestina kedepannya.
Dalam kamus geopoltik, yang sebenarnya terjadi adalah mindset realism, dimana sesama great power akan terus menikmati hasil dari manuvernya dengan segala bentuk pragmatismenya, sedangkan yang lemah akan terus menjadi korban. Suka atau tidak.
Perubahan lanskap geopolitik dan penataan kembali peta Timur Tengah baru saat ini, memiliki tujuan jangka panjang bagi kepentingan nasional AS, termasuk mengamankan posisi keamanan Israel jangka panjang, karena posisi keamanan Israel adalah posisi yang sama pentingnya bagi AS untuk menghadapi persaingan baru di Timur Tengah di masa-masa mendatang.
Sudah sangat lumrah, kebijakan-kebijakan Trump saat ini soal isu-isu luar negeri AS, khususnya yang berkaitan dengan dunia Islam, sangat dipengaruhi oleh lobi-lobi Israel di AS itu sendiri, kebijakan luas negeri AS yang berkaitan dengan dunia Islam dan Timur Tengah dari dulu telah menjadi salah satu isu yang sangat penting bagi kepentingan nasional AS.
Dunia Islam dan Timur Tengah dengan semua permasalahan yang sangat kompleks akan menjadi tantangan tersendiri bagi AS saat ini dalam menghadapi tantangan global era multipolar. AS tidak menginginkan China dan Rusia mempengaruhi kawasan Timur Tengah dan Asia Barat kedepannya. Hal ini seiring dengan terus meningkatnya pengaruh Rusia dan China di kawasan tersebut satu dekade terakhir.
Dalam perang atrisi yang akan berlangsung lama seperti ini, AS hampir tidak memiliki pilihan lain selain dengan terus menancapkan pengaruh kuat di Timur Tengah dan Asia Barat, untuk membendung China dan Rusia. Dan dalam isu geopolitik besar ini, Israel adalah core isu bagi AS di sana.
Memahami peta geopolitik Timur Tengah dalam konteks kekinian tidak bisa lepas dari pola dan mindset balance of power antara persaingan AS versus China dan Rusia di masa lalu untuk memperebutkan pengaruh di dunia Islam yang memiliki 2,2 miliar jiwa saat ini, dan memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat besar. Ini murni bukan perang agama, tapi perang ini adalah perang geopolitik dengan pendekatan baru “realist” yang diadopsi oleh AS di era Trump jilid 2 ini dengan tujuan me-reset kembali semua kebijakan luar negeri AS yang nyaris berbeda dengan pendekatan yang dilakukan oleh Joe Biden dan Barrack Obama dari Partai Republik.
Leave a reply
