
RRC Bantah Sedang Berunding Tarif dengan AS, RRC Kasih Syarat ke AS Bila Mau Bernegosiasi

Juru Bicara Foreign Ministry RRC, Guo Jiakun/Dok. Foreign Ministry
Republik Rakyat China (RRC) mengkonfirmasi bahwa pemerintah RRC tidak sedang berunding dengan pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk tarif atau bea masuk. Menjawab pertanyaan Phoenix TV saat konferensi pers pada 24 April 2025, Juru Bicara Foreign Ministry RRC, Guo Jiakun menyatakan RRC dan AS tidak sedang berkonsultasi atau bernegosiasi mengenai tarif, apalagi mencapai kesepakatan.
“Sejauh yang saya tahu, RRC dan AS tidak sedang berkonsultasi atau bernegosiasi mengenai tarif, apalagi mencapai kesepakatan,” kata Guo Jiakun dalam konferensi pers.
Ia mengatakan perang tarif ini dilancarkan oleh AS. Oleh karena itu, posisi RRC konsisten dan jelas, pihaknya akan berjuang.
Guo juga menyampaikan RRC pintunya terbuka jika AS ingin berunding. Namun ditegaskan, negosiasi dalam posisi yang setara, rasa hormat dan saling menguntungkan.
Sebagaimana diketahui bersama, kebijakan tarif resiprokal yang dikeluarkan oleh pemerintah AS dibalas oleh pemerintah RRC. Pemerintah RRC memilih retaliasi dibandingkan untuk berunding atau bernegosiasi seperti yang dilakukan banyak negara yang dikenai tarif tersebut.
Menteri Keuangan Republik Indonesia melihat pada kuartal I tahun 2025, ketidakpastian perekonomian global meningkat didorong oleh kebijakan tarif impor Pemerintah AS. Kebijakan tersebut menimbulkan adanya perang tarif dan diperkirakan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi AS, Tiongkok, dan ekonomi global serta memicu peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global.
Dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada 24 April 2025, Menkeu Sri Mulyani menyampaikan kebijakan AS tersebut juga mendorong perilaku risk aversion (penghindaran risiko) pemilik modal serta menyebabkan penurunan yield US Treasury dan pelemahan indeks mata uang dolar AS (DXY) di tengah peningkatan ekspektasi penurunan Fed Funds Rate (FFR).
Sri Mulyani menyebut aliran modal dunia bergeser dari AS ke negara dan aset yang dianggap aman (safe haven asset), terutama ke aset keuangan di Eropa dan Jepang serta komoditas emas. Sementara itu, aliran keluar modal dari negara berkembang masih berlanjut sehingga memberikan tekanan terhadap pelemahan mata uangnya.
Dalam World Economic Outlook (WEO) April 2025, IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global ke level 2,8% pada 2025 dan 3,0% pada 2026. Angka ini turun masing-masing 0,5 percentage points (pp) untuk tahun 2025 dan 0,3 pp untuk tahun 2026. Penurunan proyeksi dipicu oleh dampak langsung eskalasi perang tarif serta dampak tidak langsung melalui disrupsi rantai pasok, ketidakpastian yang meningkat, dan memburuknya sentimen.
Leave a reply
