
Pakar Hukum: RKUHP Susah Jerat Korporasi Bandel

Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai masih ada kelemahan. Ada pandangan yang melihat revisi tersebut ada kecacatan dalam perumusan tindak pidana lingkungan hidup dan pertanggungjawaban korporasi.
Menurut Deputi Direktur Indonesia Center Environment of Law (ICEL) Raynaldo G. Sembiring, pengaturan tentang pertanggungjawaban korporasi akan sulit menjerat korporasi karena definisi yang sangat luas dan sulit membuktikan bagaimana suatu kebijakan korporasi menjadi budaya perusahaan (vide pasal 47 dan pasal 49 huruf c).
Selain itu, ia juga berkata bahwa pengertian korporasi ini berpotensi mengkriminalisasi masyarakat adat. Padahal kasus tindak pidana lingkungan hidup kebanyakan dilakukan oleh korporasi.
Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dr. Andri G. Wibisana menambahkan bahwa RKUHP memuat pasal yang gagal memisahkan antara pertanggungjawaban korporasi dengan pertanggungjawaban pengurus.
“Tidak ada ketentuan RKUHP yang menjelaskan kapan pengurus bertanggungjawab,” kata Andri. Tanpa adanya ketentuan ini, maka pelaksanaan pertanggungjawaban korporasi dapat mengakibatkan penerapan pertanggungjawaban korporasi berubah menjadi pergeseran tanggungjawab dari korporasi ke subjek hukum orang (pengurus), di mana orang ini bertanggungjawab atas tindak pidana yang tidak dilakukannya.
Oleh Peneliti ICEL,Marsya M. Handayani lebih dalam diungkapkan bahwapembuktian tindak pidana lingkungan hidup (pasal 346 dan 347) akan semakin sulit karena adanya unsur melawan hukum dan akibat.
“Pelaku akan berdalih kalau punya izin maka tidak akan mungkin ia melawan hukum dan menyebabkan pencemaran atau kerusakan. Seharusnya tidak perlu lagi unsur itu, cukup dibuktikan apakah tindakan pelaku melebihi baku mutu pencemaran atau kriteria baku kerusakan,” ungkapnya.
Hal ini juga ditegaskan oleh Andri, menurutnya, rumusan pada kedua Pasal tersebut mirip dengan rumusan Pasal 41 dan 42 UU 23/1997, yang telah terbukti sangat lemah dalam menjerat para pelaku pencemaran. Menyadari kelemahan yang ada dalam Pasal 41 dan 42 UU 23/1997, maka kedua pasal ini diubah rumusannya dengan pasal 98 dan 99 UU 32/2009. Dengan diadopsinya pasal 346 dan 347 RKUHP, maka kedua pasal yang tidak efektif justru dihidupkan kembali.
Perumusan pidana dan pemidanaan dalam tindak pidana lingkungan hidup di RKUHP juga mengubah model dan pola yang dimuat dalam UU 32/2009. Rumusan jenis pidana yang diancam kepada pelaku tindak pidana lingkungan hidup dirumuskan dengan model alternatif, sedangkan dalam UU 32/2009 dirumuskan secara kumulatif. Hal ini tentunya membuat hakim hanya bisa menjatuhkan pidana denda atau penjara, tidak bisa menjatuhkan keduanya. Padahal RKUHP mengatur pedoman pemidanaan yang bisa mengenyampingkan model kumulatif dalam hal tertentu. Selanjutnya, dari ancaman pidana, RKUHP juga tidak menggunakan ancaman pidana minimal khusus, sehingga hakim diberi kebebasan menjatuhkan pidana serendah-rendahnya. Untuk ancaman pidana maksimal, UU 32/2009 merumuskannya secara lebih tegas.
Leave a reply
