
Eks Menteri Keuangan Beberkan Cara Agar Target Pertumbuhan Ekonomi 8% Dapat Tercapai

Penasihat khusus Presiden Prabowo bidang perekonomian sekaligus mantan menteri keuangan, Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro saat menjadi pembicara kunci dalam acara 6th CEO Conference yang digelar Theiconomics.com pada Selasa (18/3)/Foto: Theiconomics.com
Mantan Menteri Keuangan, Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro mengungkapkan target pertumbuhan ekonomi 8% sebagaimana dicanangkan pemerintahan Prabowo Subianto dapat tercapai bila Indonesia melepaskan ketergantungan pada sumber pertumbuhan yang berasal dari kenaikan harga komoditas.
Dari sisi pengeluaran, menurut dia, target pertumbuhan 8% itu juga bisa tercapai bila menggenjot investasi, terutama sektor manufaktur, alih-alih hanya mengandalkan konsumsi rumah tangga.
Menjadi pembicara kunci dalam acara 6th CEO Conference yang digelar Theiconomics.com pada Selasa (18/3), Bambang sepakat dengan pemerintah bahwa target pertumbuhan 8% itu untuk 2029. Tetapi, upaya untuk mencapai target tersebut harus dimulai dari saat ini.
“Karena memang butuh waktu dan butuh effort untuk mengubah rata-rata pertumbuhan ekonomi kita, yang selama 10-15 tahun terakhir tumbuh sekitar 5%,” ujar pria yang juga menjadi penasihat khusus Presiden Prabowo Subianto bidang perekonomian.
Bambang mengatakan dalam 10-15 terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekali mencapai lebih dari 5% yaitu 6,5% pada 2011, yang terjadi karena kenaikan harga komoditas.
“Pesannya adalah, kenapa kita relatif stagnan di sekitar 5%, karena perekonomian kita masih selalu bergantung pada komoditas. Dan komoditasnya, boleh dibilang belum bergerak banyak. Terbatas pada pertambangan, khususnya batu bara dan perkebunan khususnya palm oil. Kemudian, kalau ada variasi terakhir nikel yang menjadi faktor yang bisa membantu pertumbuhan ekonomi. Tetapi masalahnya commodity price lagi tidak booming, all over the world. Permintaan global tidak seperti ketika 2011 atau ketika setelah Covid. Artinya, kita harus siap, bagaimana menjaga pertumbuhan ekonomi jangan sampai di bawah 5% dan melakukan extra effort supaya kita mencapai 8% di tahun 2029,” ujarnya.
Dalam sejarah perekonomian Indonesia, kata Bambang, setidaknya lima kali terjadi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8% atau lebih, empat diantaranya terjadi pada era 1970-an dan 1980-an, akibat booming harga minyak dan gas (migas), serta terakhir pada 1995 yang tumbuh 8,2%.
Ia mengatakan penting untuk belajar dari pertumbuhan tinggi pada 1995. Sebab, pertumbuhan tinggi pada 1995 bukan karena kenaikan harga migas seperti era sebelumnya, tetapi penggerak utamanya karena sektor manufaktur dan investasi.
“Poin pertama untuk transformasi kita menuju 2029, kita harus kembali ke manufacturing atau saya menggunakan istilah reindustrialisasi,” ujarnya.
Saat itu, kontribusi sektor manufaktur ke produk domestik bruto Indonesia mendekati 30%, sama seperti yang terjadi di negara-negara industri.
“Waktu itu yang jadi patokan kita, dan kemudian jadi success story adalah Korea Selatan dan sebelumnya adalah Jepang. Jadi, mereka bisa menjadi negara maju, pertumbuhan ekonomi tinggi, double digit, bahkan pada masa mereka mengalami bonus demografi, itu adalah sektor manufaktur. Produk manufaktur mereka globally competitive. Enggak hanya sekedar bikin barang, tetapi barangnya itu tidak hanya domestically kompetitif, tetapi harus globally competitive,” ujarnya.
Selain digerakan oleh sektor manufaktur, pertumbuhan tinggi pada 1995, kata Bambang, adalah karena investasi, bukan oleh konsumsi rumah tangga.
Menurutnya, bila pertumbuhan ekonomi hanya mengandalkan konsumsi rumah tangga, yang saat ini berkontribusi sekitar 60% pada produk domestik bruto Indonesia, sulit untuk berharap pertumbuhan akan naik.
“Jadi, yang perlu digenjot itu adalah investasinya dan itulah kunci di tahun 1990-an, ketika pertumbuhan investasi kita juga menyentuh double digit. Dan fokusnya adalah investasi di sektor manufaktur,” ujarnya.
Bambang mengatakan, investasi besar-besaran sektor manufaktur pada 1990-an memang tidak terlepas dari faktor keberuntungan (lucky). Saat itu, Jepang yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi di Asia melakukan relokasi sebagian industrinya, terutama yang padat karya.
Relokasi manufaktur dari Jepang, terutama tekstil dan garmen, pada saat itu terjadi karena upah buruh yang tinggi di Negeri Sakura itu.
“Ketika mereka mencari lokasi, the best place to invest itu adalah Indonesia. Kenapa Indonesia? Waktu itu kita masih menawarkan sesuatu yang barangkali sekarang itu politically incorrect yaitu upah buruh murah. Karena waktu itu masih dimungkinkan memang upah buruh kita secara relatif murah. Kita sangat siap dengan industrial estate. Makanya muncul kawasan industri di kawasan timur dan barat Jakarta, sehingga akhirnya itu yang menjadi backbone dari pertumbuhan 8%,” ujarnya.
Pertanyaannya, bagaimana mengulang kesuksesan pertumbuhan 8% pada 1995 – yang ditopang oleh manufaktur dan investasi – dalam konteks 2025?
Perang dagang antara pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump saat ini dengan China sebenarnya menjadi peluang bagi Indonesia.
Memang di satu sisi, perang dagang ini menimbulkan kekhawatiran terjadinya banjir produk manufaktur China, terutama tekstil, ke Indonesia.
Tetapi, di sisi lain, ini juga bisa menjadi peluang, karena pabrik-pabrik dari China juga akan mencari negara-negara lain untuk melanjutkan produksi.
“Jadi, yang harus kita benar-benar posisikan di Indonesia adalah bisakah Indonesia kembali lagi ke tahun 1990-an tadi, tempat relokasi investasi dari China? Investasi yang tadinya ada di China dalam berbagai bidang. Saya dengar, sudah ada yang mulai, beberapa ke Batam. Saya lupa untuk jenis industri apa. Tetapi artinya ini yang harus kita garap serius,” ujarnya.
Peluang bagi Indonesia terbuka lebar, karena Indonesia belum masuk dalam sasaran Trump untuk dikenakan tarif tinggi. Trump sejauh ini hanya memelototi negara-negara dengan defisit perdagangan yang tinggi dengan Amerika Serikat, seperti China, Kanada dan Meksiko.
Selain itu, Indonesia juga masih masuk dalam Generalized System of Preferences (GSP) yang memberikan keringanan bea masuk untuk impor produk tertentu dari Indonesia ke Amerika Serikat.
Karena itu, menurut Bambang “tidak ada salahnya kalau kemudian, Indonesia menjadi tempat relokasi dari investasi China yang mayoritas di bidang manufaktur,” sekaligus memperkuat manufaktur Indonesia.
Hasil produk manufaktur tersebut, selain untuk domestik, juga diekspor, tidak hanya ke Amerika Serikat, tetapi juga negara lain.
“Jadi, kita mulai dengan mencari peluang di tengah kesulitan, ketika semua orang nervous dengan apa yang dilakukan oleh Trump,” ujarnya.
Problemnya, kata Bambang, reindustrialisasi ini perlu investasi. Berapa besar investasi yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan 8% di 2029?
Mengutip paparan Menteri Investasi dan Hilirisasi, Rosan Roeslani, untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 8%, selama periode 2025-2029, dibutuhkan total investasi, baik PMA dan PMDN, sebesar Rp13.528 triliun.
Tahun 2024, realisasi investasi Indonesia sekitar Rp1.650 triliun. Rosan memaparkan, tahun 2025 ini realisasi investasi harus naik 6,8% menjadi menjadi Rp1.906 triliun.
Kemudian, pada 2026 naik 7,6% menjadi Rp2.280 triliun. Selanjutnya, tahun 2027 naik sebesar 8,3% menjadi Rp2.684 triliun dan 2028 naik 8% menjadi Rp3.100 triliun. Terakhir, tahun 2029 naik 7,8% menjadi Rp3.544 triliun.
Pertanyannya, apakah target investasi tersebut bisa tercapai?
“Disinilah pentingnya dari sisi pemerintah untuk menegaskan bahwa tema perekonomian kita 5 tahun ke depan, reindustrialisasi yang berbasis investasi. Artinya, kita menarik investasi. Prioritas investasi untuk mendukung reindustrialisasi,” ujar Bambang.
Investasi tersebut, menurutnya, juga harus diarahkan pada sektor produktif, sekaligus menurunkan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia dari level dari 6,02 pada 2024 menjadi 5.
ICOR adalah rasio yang menunjukkan besarnya tambahan modal (investasi) yang dibutuhkan untuk menghasilkan tambahan satu unit output (keluaran) dalam perekonomian.
“Karena kalau ICOR bisa diturunkan dari 6 ke 5 saja, itu artinya berapa pun investasi yang nantinya kita dapatkan bisa mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Jadi, artinya investasinya bisa menciptakan efisiensi di dalam perekonomian,” ujar Bambang.
Bambang mengatakan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari investasi juga harus berkualitas, yaitu penciptaan lapangan kerja. Apalagi sejak 2015 hingga 2045, Indonesia berada dalam periode bonus demografi yang ditandai dengan besarnya populasi usia produktif.
Menurutnya, sebelumnya pertumbuhan tinggi di Jepang dan Korea, serta belakangan China juga terjadi pada saat negara-negara itu pada fase bonus demografi.
“Resepnya sama di tiga negara itu. Manufacturing, investment. Eggak ada yang beda. Jadi, kita sedang berupaya meniru mereka. Karenanya, pentingnya kita untuk mendekatkan diri pada investasi,” ujarnya.
Untuk mencapai target investasi tinggi itu, pekerjaan rumah bagi pemerintah, menurut Bambang, adalah “menghilangkan stigma negatif tentang iklim investasi di Indonesia.
“Belakangan ini di WA group muncul misalkan, ada kawasan industri di sekitar Jabodetabek yang menerima permohonan THR dari Ormas. Mungkin kelihatannya gangguan kecil dan mungkin yang minta juga merasakan kita cuma minta sekian, Anda omzetnya berapa sih. Masalahnya, bukan masalah rasio antara berapa yang diminta dengan omzet pabrik, [tetapi] yang dimasalahkan adalah gangguan dan ketidakpastian,” ujarnya.
Hal lain yang juga harus dibereskan, tambah Bambang, adalah soal perizinan. Stigma proses perizinan yang lama harus segera dibereskan.
“Hanya itu cara kita untuk bisa menunjukkan investasi adalah prioritas,” ujarnya.
Masih dalam konteks investasi, pertanyaan penting lainnya, adalah Indonesia fokus investasi di bidang apa?
Menurutnya, hilirisasi yang sering dibicarakan pemerintah, sebetulnya bagian dari reindustrialisasi. Artinya, hilirisasi itu harus berujung pada bangkitnya kembali sektor manufaktur.
Hilirisasi nikel, misalnya. Menurut Bambang, mestinya tak berhenti pada investasi smelter.
“Kalau orang menganggap dengan adanya investasi smelter, maka hilirisasi nikel sudah terjadi, itu artinya kita masih jauh dari target yang kita inginkan. Ketika kita mengharapkan hilirisasi dari nikel, apa sih sebenarnya yang kita kejar? Yang kita kejar adalah bangkitnya industri besi dan baja, terutama Indonesia harus menjadi produsen penting dari stainless steel, yang bahan dasarnya nikel,” ujarnya.
Selain menjadi produsen stainless steel, dari nikel Indonesia juga mestinya bisa menjadi pemain kunci di industri baterai kendaraan listrik, yang juga berbahan baku nikel.
“Jadi, ketika kita melakukan hilirisasi, kita perlu suntikan teknologi,” ujarnya.
“Sejarah jelas menegaskan, negara yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, itu adalah pemenang. Kenapa Amerika takut sama China sekarang? Ya, pasti bukan karena jumlah prajuritnya lebih banyak daripada Amerika. Yang lebih ditakutkan dari China adalah kemampuan Ipteknya,”ujar Mantan Menteri PPN/Kepala Bapenas ini.
Leave a reply
