
Draf Revisi Undang-Undang BI dari DPR Seperti Bernostalgia ke Orde Baru

Eko Listiyanto, Wakil Direktur INDEF/iconomics
Draf revisi Undang-Undang Bank Indonesia – setidaknya per 17 September – seperti mengembalikan bank sentral ke kondisi di era Orde Lama dan Orde Baru.
“Karena beberapa aspeknya sebetulnya, saya bisa katakan hanya copy paste saja dari undang-undang yang tahun 1953 dan 1968. Hampir beberapa dimasukan lagi, seolah-olah mau bernostalgia dengan situasi di era Orde Baru,” ujar Eko Listiyanto, Wakil Direktur INDEF dalam diskusi virtual, Kamis (1/10).
Eko mengatakan dalam draf terakhir per 17 September dari Badan Legislasi DPR RI, di beberapa pasal ada kerancuan antara kebijakan moneter dengan kebijakan fiskalnya.
“Misalnya, ada Dewan Moneter atau Dewan Kebijaan Ekonomi Makro yang anggotanya lima orang. Terus kemudian di situ dewan ini kalau saya baca drafnya itu bersidang setidaknya dua kali dalam sebulan. Sementara kewajiban DG (dewan gubernur BI saat ini) sendiri cuma sekali dalam sebulan,” ujarnya.
Hal ini, lanjutnya mengindikasikan peran Dewan Gubernur yang makin tergerus oleh keberadaan Dewan Moneter.
Lebih lanjut Eko mengatakan bila kemudian draf ini yang menjadi acuan dalam pembahasan revisi undang-undang BI, ini akan menjadi pertanyaan banyak orang terutama dari pasar keuangan.
“Karena nanti sangat mungkin kebijakan-kebijakan itu agak susah untuk dikatakan independen yang memang berdasarkan analisa ekonomi yang terjadi,” ujarnya.
Belajar dari sejarah, menurutya intervensi pemerintah terhadap bank sentral di masa lalu seperti Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menyebabkan sistem keuangan Indonesia ‘meledak’ pada tahun 1998. Krisis moneter yang semula hanya terjadi di Thailand dengan cepat menjalar ke Indonesia yang kemudian menimbulkan terjadinya pergantian rezim Orde Baru.
Karena itu, menurut Eko bila kemudian kebijakan fiskal dan moneter dicampuradukkan lagi, bukan tak mungkin akan menimbulkan gejolak di sektor keuangan. Apalagi, sektor keuangan Indonesia dominasi asingnya cukup tinggi seperti di surat utang pemerintah. Bila asing melepaskan kepemilikannya, akan menimbulkan pelemahan rupiah seperti terjadi pada awal pandemi Covid-19 ini dimana rupiah sempat menyenutuh level 16.000.
“Gejolak ini enggak akan berakhir sebelum memang ada kepastian tentang independesi, tentang kerangka dari bank sentral ke depan itu seperti apa,” ujarnya.
Selain datang dari DPR, pemerintah sendiri juga mewacankan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) soal penguatan kerangka stablitas sistem keuangan.
Pada 4 September lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melalui sebuah konferensi pers sudah menyampaikan 5 kajian reformasi sistem keuangan. Hanya saja, berbeda dengan DPR yang sudah mempublikasikan draf revisi, pemerintah malah belum sama sekali, sehingga publik pun tidak mengetahui kerangka penguatan yang dibuat pemerintah itu seperti apa.
Menurut Eko, karena wacana ini sudah dilempar ke publik, pemerintah harus segera menyampaikan bentuk kerangka penguatan sistem keuangan tersebut, termasuk apakan bentuknya benar melalui Perppu atau mekanisme lain.
“Ini supaya menenangkan pasar dan juga membuat sektor keuangan kita tidak terlalu banyak riuh dengan rencana perubahan regulasi atau undang-undang ini,” ujarnya.
Menurut Eko, mestinya pemerintah saat ini fokus pada isu kesehatan dengan menghentikan laju penambahan kasus-kasus baru terinfeksi Covid-19. Bila masalah kesehatan teratasi, maka isu-isu di sektor keuangan eskalasinya ditekan dengan sendirinya.
Leave a reply
