Benarkah Pengurus BUMN Tak Bisa Lagi Dijerat Undang-Undang Tipikor?

0
139

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan revisi ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada awal Februari 2025.

Salah satu klausul penting dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 ini adalah pasal 4D, yang menyatakan “keuntungan atau kerugian yang dialami BUMN merupakan keuntungan atau kerugian BUMN”.

Pada bagian penjelasan pasal ini dikatakan “modal dan kekayaan BUMN merupakan milik BUMN dan setiap keuntungan atau kerugian yang dialami oleh BUMN bukan merupakan keuntungan atau kerugian negara.”

Ketentuan ini selaras dengan prinsip pemisahan kekayaan antara perusahaan dengan pemilik modal. Dari sisi tindak pidana korupsi, ketentuan ini menutup celah bagi Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menjerat pengurus BUMN dengan pasal mengenai kerugian negara dalam Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi (UU No.31/1999, jo, UU No.20/2001).

Lantas apakah pengurus BUMN, seperti direksi dan komisaris atau dewan pengawas, betul-betul lepas dari pertanggungjawaban pidana?

Arif Hatta dan Petrus Dabu dari Theiconomics.com mewawancarai, Albertina Ho, mantan anggota dewan pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 20 Maret 2025, melalui platform Zoom.

“Setelah Undang-Undang BUMN direvisi, jelas tidak bisa lagi kita gunakan pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Tipikor karena itu menyangkut kerugian negara. Tetapi kita harus menggunakan pasal lain di dalam Undang-Undang Tipikor. Karena pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Tipikor jelas mengatur kerugian negara. Tetapi pasal lain dalam Undang-Undang Tipikor bukan tentang kerugian negara, misalnya soal gratifikasi,” kata perempuan yang kini menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Banten ini.

Berikut petikannya:

Bagaimana pandangan Anda terhadap revisi undang-undang  BUMN?

Pertama, kalau kita kaitkan dengan tindak pidana korupsi, yaitu kekayaan BUMN itu kekayaan BUMN, bukan lagi kekayaan negara. Jadi, Undang-Undang ini memisahkan dengan jelas harta kekayaannya BUMN dengan [harta kekayaan] negara.

Jadi, kalau harta negara sudah masuk ke BUMN menjadi kekayaan BUMN. Tidak lagi menjadi kekayaan negara.

Kedua, kerugian yang diderita oleh BUMN, bukan termasuk kerugian yang diderita oleh negara. Terpisah. Keuntungan maupun kerugian yang diderita oleh BUMN, bukan menjadi keuntungan atapun kerugian negara.

Jadi, saya kalau melihat, yang pokok sebenarnya dua poin itu.

Tetapi di poin lain dari Undang-Undang BUMN itu dikatakan direksi atau pun badan pengawas BUMN tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, apabila ada beberapa poin. Ada empat poin. Empat poin itu adalah kumulatif. Nanti, satu poin saja tidak dipenuhi, direksi atau komisaris BUMN itu bisa dipertanggungjawabkan (secara hukum). [Lihat pasal 9F UU No.1/2025].

Berarti, direksi dan komisaris atau dewan pengawas BUMN itu tetap bisa dipertanggungjawabkan (secara hukum) dan bisa dikenakan tindak pidana korupsi.

Karena kalau kita lihat tindak pidana korupsi, yang termasuk dalam merugikan keuangan negara, itu hanya pasal 2 dan pasal 3 (UU Tipikor). Sementara pasal lain kan tidak menyangkut kerugian negara.

Lalu, saya lihat lagi, di dalam Undang-Undang BUMN yang baru disahkan ini, disebutkan di situ bahwa direksi dan ini (komisaris dan dewan pengawas) bukan penyelenggara negara [Lihat Pasal 87 ayat (5) UU No.1/2025]. Tetapi, tidak menyebutkan bahwa mereka ini bukan pegawai negeri.

Kalau kita lihat di dalam Undang-Undang Tipikor, jelas definisinya. Pengertian pegawai negeri di dalam Undang-Undang No.31/1999, jelas disebutkan, pegawai negeri meliputi:(a) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian. Itu jelas yang sering kita dengar dengan PNS; (b) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP; (c) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; (d) orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau (e)orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Baca Juga :   Revisi UU BUMN Disahkan, Kerugian BUMN Bukan Lagi Kerugian Negara

Katakanlah a,b,c ini tidak kena, (tetapi) di d dan e bisa, yaitu orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara. [bandingkan pasal 1 ayat 2 UU No.31/1999 tentang Tipikor]

Jelas di sini bahwa pengertian pegawai negeri ini luas sekali dan bisa mencakup direksi maupun komisaris atau dewan pengawas dari BUMN.

Dan kalau kita lihat di dalam Undang-Undang Tipikor (UU 31/1999 Jo UU No.20/2001), jelas, misalnya di pasal 12B soal gratifikasi, dipidana penjara seumur hidup bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji yang diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakan dan seterusnya.

Nah ini, jelas bahwa pegawai negeri tetap bisa masuk [dijerat UU Tipikor].

Artinya, selama masih ada korelasi dengan negara, entah itu permodalan atau pun pemberian bantuan dari pemerintah/negara, masih sangat terbuka bagi direksi dan komisaris atau dewan pengawas BUMN terkena pasal dalam UU Tipikor?

Iya. masih bisa.

Artinya, revisi UU BUMN tidak membebaskan direksi dan dewan komisaris atau badan pengawas untuk dijerat UU Tipikor?

Saya melihatnya bahwa tetap masih ada celah itu. Celah yang ditutup adalah celah kerugian negara [sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan 3 UU Tipikor]. Yang ditutup itu. Tetapi kalau yang bukan kerugian negara, masih terbuka. Kerugian negara dan penyelenggara negara itu ditutup. Mereka bisa bukan lagi penyelenggara negara dan bukan lagi kekayaan negara yang dipisahkan.

Tetapi mereka tetap masuk ke dalam pegawai negeri. Definisi pegawai negeri dalam Undang-Undang Tipikor itu jelas [bandingkan pasal 1 ayat 2 UU No.31/1999 tentang Tipikor].

Dan bukan berarti mereka tidak bisa dipertanggungjawabkan. Masih. Kalau kita lihat di pasal pertanggungjawaban hukum yaitu pasal 9F UU BUMN, itu jelas. Anggota Direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian BUMN jika dapat membuktikan. Jadi, dia dapat membuktikan kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya. Kalau kita bicara kesalahan atau kelalaian, ini kan sudah ranah pidana. Kemudian, telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehatian-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan tujuan BUMN. Di sini kena perdata.

Kemudian tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian. Ini perdata.

Dan, ini (berarti kumulatif), telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Jadi, jelas di sini.

Apakah pasal 4B UU No.1/2025 yang menyatakan keuntungan atau kerugian yang dialami BUMN merupakan keuntungan atau kerugian BUMN, dengan pasal 9F tentang pertanggungjawaban hukum itu tidak saling bertentangan?

Kalau saya pikir tidak. Karena di sini [pasal 9F] disebutkan kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaian. Jadi, maksud di sini adalah kerugian dari BUMN. Kan tidak disebutkan di sini kerugian negara.

Jelas di pengantar pasal 9F ayat (1) itu anggota direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian BUMN.  Jadi, kerugian BUMN di sini, bukan kerugian negara. Karena hartanya sudah jelas, harta BUMN, bukan lagi harta negara.

Jadi, menurut saya tidak ada kontradiksi. Ini adalah celah yang dibuka bahwa direksi maupun komisaris atau dewan pengawas BUMN itu tetap bisa kita (minta) pertanggungjawaban secara hukum. Apabila BUMN itu menderita kerugian.

Baca Juga :   UU BUMN Perkuat Kewenangan Bank Himbara Melakukan Hapus Buku dan Hapus Tagih Piutang Macet

Menurut Anda, apa semangat di balik Undang-Undang BUMN ini? Apakah semangatnya memang ingin menghindari Tipikor, meski dari penjelasan Anda tadi ternyata masih  ada celah untuk dijerat dengan UU Tipikor?

Kalau saya pikir mungkin mau menghindari Tipikor. Tetapi masih banyak celah di situ, yang tentu saja yang membuat revisi Undang-Undang ini juga kan pakar-pakar, ahli-ahli hukum. Mungkin sengaja dibuat begitu. Jadi, tetap Tipikor itu bisa menjerat.

Pintu masuk Tipikor melalui pasal 9F UU No.1/2025 itu?

Bisa saja.

Di pasal 9F ini hanya disebutkan pertanggungjawaban hukum. Apakah pidana dan perdata?

Ini kalau di lihat di sini [pasal 9F] bisa perdata, bisa pidana. Dua-duanya. Karena kalau bicara itikad baik di poin b, itu perdata.

Kalau perdata semangatnya mengembalikan kerugian BUMN sejalan dengan prinsip hukum perdata seperti dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas?

Iya. ganti rugi. Dan kalau yang di atas ini (pasal 9F ayat 1 huruf a) ranah pidana. Contoh konkret yang sederhana. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaian. Bisa saja kan karena dia menerima gratifikasi dari korporasi yang lain. Akhirnya, dia lalai dalam melakukan apa yang semestinya dia lakukan. Akibatnya, bisa menimbulkan kerugian untuk perusahaan BUMN.

Nah di sini kita lihat gratifikasi. Dia harus bisa membuktikan kalau itu bukan suap. Ini kan dia bisa kena Tipikor.

Korelasinya pasal 9F UU No.1/2025 dengan UU Tipikor karena ketentuan soal pegawai negeri sebagaimana diatur dalam pasal 1 UU No 31 tahun 1999?

Iya. pengertian pegawai negeri. Itu ada di dalam Undang-Undang Tipikor yang sampai saat ini masih berlaku. Pegawai negeri meliputi lima poin dan poin ke-4 dan ke-5 itu adalah orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah. Atau orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Nah, ini kan luas (cakupannya).

Celahnya di sini berarti ya?

Iya. kalau saya lihatnya begitu. Dia (pegawai BUMN) bukan penyelenggara negara, tetapi masih bisa masuk ke pengertian  pegawai negeri.

Jadi, masih ada link-nya ke sana [dijerat dengan tipikor], tidak membebaskan. Makanya, kalau saya baca banyak yang ribut, bahwa negara kita tidak semangat lagi untuk pemberantasan korupsi. Saya pikir semangat itu masih ada.

Dengan ketentuan keuntungan atau kerugian yang dialami BUMN merupakan keuntungan atau kerugian BUMN atau bukan kerugian negara sebagaimana dalam penjelasan UU BUMN ini, apakah ini menyulitkan penegak hukum untuk mejerat pengurus BUMN dengan UU Tipikor?

Kalau saya pikir tidak. Karena kalau kita lihat di dalam Undang-Undang Tipikor, yang menyinggung kerugian negara hanya pasal 2 dan pasal 3. Pasal-pasal yang lain itu menyinggung mengenai pegawai negeri.

Belum lama ini, kami juga menghadiri seminar yang diselenggarakan oleh UGM. Hadir juga dari Jaksa. Pada intinya dari seminar itu, semuanya sependapat bahwa Tipikor tetap bisa kita terapkan, meskipun Undang-Undang BUMN ini sudah direvisi.

 Menurut Anda apa beda UU BUMN yang lama dengan yang baru direvisi ini?

Setelah Undang-Undang BUMN direvisi, jelas tidak bisa lagi kita gunakan pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Tipikor karena itu menyangkut kerugian negara. Tetapi kita harus menggunakan pasal lain di dalam Undang-Undang Tipikor. Karena pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Tipikor jelas mengatur kerugian negara. Tetapi pasal lain dalam Undang-Undang Tipikor bukan tentang kerugian negara, misalnya soal gratifikasi.

Baca Juga :   Sesuai Mandat UU, Presiden yang Susun Struktur Organisasi BPI Danantara

Dan kalau kita lihat, pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor itu malah ancaman pidananya lebih sedikit dibandingkan pasal yang lain. Misalnya di pasal 12 UU Tipikor (soal gratifikasi), dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun, pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar (untuk) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji yang diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakan dan seterusnya..

Bisa saja kan dia itu menerima gratifikasi untuk tidak melakukan sesuatu atau untuk melakukan sesuatu yang merugikan BUMN. Berarti kan dia bisa diminta pertanggungjawaban hukum dengan pasal korupsi.

Dengan hilangnya klausul tentang kerugian BUMN bukan kerugian negara, apakah potensi menjerat pengurus BUMN dengan UU Tipikor berkurang juga?

Memang secara matematika satu unsur berkurang. Jadi, tidak gampang lagi menjerat mereka. Kalau dilihat dari satu sisi seperti itu. Tetapi kalau saya lihat dari sisi lain, saya melihatnya dari sisi semangat. Pasal 9F UU BUMN itu jelas dia tidak bisa dibebaskan dari pertanggungjawaban hukum. Sekarang jelas di situ secara transparan dan tegas. Secara kumulatif lagi. Kalau salah satu [unsur dalam pasal 9F]  tidak terpenuhi, dia tetap diminta pertanggungjawaban hukum.

Sesuai pasal 9F, pembuktian itu ada pada anggota direksi itu, bukan pada penuntut umum, kalau kita lihat dari bunyi pasal ini. Yang harus dia buktikan empat. Pertama, kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaian. Kedua, telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan tujuan BUMN. Ketiga, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan keempat, telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Poin d (keempat) ini sangat terbuka luas sekali. Tindakan apa yang dia lakukan untuk mencegah kerugian yang timbul atau berlanjutnya kerugian. Dia harus membuktikan semua ini. Begitu dia tidak bisa membuktikan, dia bisa dimintai pertanggungjawaban hukum.

Cenderung ke mana pertanggungjawaban hukum dari pasal 9F ini? Pidana atau perdata?

Pidana dan perdata, dua-duanya terbuka.

Dengan ketentuan bahwa kerugian BUMN bukan kerugian negara, apakah revisi UU BUMN ini semangatnya membatasi masuknya pengusutan Tipikor di BUMN?

Memang mungkin kalau prinsip-prinsip hukum perdata, itu harta suatu koroporasi itu harus sudah dipisahkan. Itu prinsip hukum perdata. Jelas di situ prinsip hukum perdata di situ (UU BUMN yang baru). Tetapi, dari sisi lain pertanggungjawaban hukum masih tetap dimintai pertanggungjawaban. Kerugian itu betul dipisahkan.

Jadi, tidak rancu lagi antara prinsip perdata dan pidana. Prinsip perdata yang ada di UU BUMN maksudnya. Selama ini kan kita rancu. Perdata, tetapi kok kerugian BUMN itu masih kerugian negara sebagai pemilik modal. Padahal kita ketahui, kalau korporasi itu harta itu harus dipisahkan. Harta korporasi dengan harga pemilik perusahaan harus terpisah. Nah, BUMN ini punya negara. Tetapi, harta kok jadi satu. Jadi, kalau saya lihat ini memang memperjelas prinsip-prinsip hukum perdatanya, perseroan khususnya. Jadi, tidak rancu lagi. Tetapi secara pidana masih ada yang bisa dipertanggungjawabkan.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics