
Pendapatan Operasional Garuda Turun 33% di Kuartal I/2020

Ilustrasi/Okezone
Pendapatan operasional PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk menurun hingga 33% pada Kuartal I/2020 dibanding dengan periode yang sama tahun lalu. Penyebab utama penurunan pendapatan operasional itu karena menurunnya jumlah penumpang yang diangkut pada periode tersebut.
Disebutkan, 80% dari total pendapatan usaha berasal dari daya angkut penumpang. Juga karena harga tiket yang turun dibandingkan dengan Kuartal I/2019.
“Tentunya penurunan jumlah penumpang diangkut oleh Perseroan sangat terpengaruh oleh kondisi industri penerbangan yang menurun akibat Covid-19, dengan pemberlakukan PSBB di beberapa daerah terutama Ibukota mengakibatkan masyarakat memilih untuk mengikuti peraturan pemerintah,” kata VP Corporate Secretary Garuda Indonesia Mitra Piranti seperti dipublikasikan Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (23/4).
Mitra mengatakan, kondisi pasar yang sedang lesu karena wabah virus corona menekan perseroan untuk memangkas kapasitas produksinya. Itu terlihat dari frekuensi penerbangan dan ASK yang menurun.
Beberapa ahli berpendapat situasi pandemi ini paling cepat berakhir pada akhir Mei nanti dan paling lama pada Juli 2020. Bila itu benar, maka situasi demikian akan membuat industri penerbangan kian terpuruk sebab bulan Mei hingga Juni merupakan high season karena Lebaran dan libur sekolah.
Kemungkinan terburuk yang akan dialami Garuda, kata Mitra, tidak ada penerbangan haji di tahun 2020. Karena itu, Garuda telah menyiapkan strategi untuk mempertahankan kinerja perseroan dari aspek keuangan dan operasional sebagai upaya menjaga kelangsungan usaha perseroan selama 6 bulan ke depan.
Dari aspek keuangan, kata Mitra, arus kas merupakan hal yang paling penting untuk menjaga going concern perusahaan. Garuda Indonesia mempunyai 2 kategori biaya yang sangat berpengaruh terhadap pengeluaran kas yaitu biaya tetap yang meliputi biaya sewa pesawat, biaya pegawai, administrasi kantor pusat dan kantor cabang dan biaya variabel penerbangan yang meliputi biaya bahan bakar, biasa kestasiunan, biaya catering, biaya navigasi dan biaya tunjangan terbang bagi awak pesawat.
Atas dasar pertimbangan tersebut, agar Garuda Indonesia tetap beroperasi, maka perusahaan menerapkan beberapa strategi. Strategi itu meliputi melakukan negosiasi dengan lessor untuk penundaan pembayaran sewa pesawat. Lalu, memperpanjang masa sewa pesawat untuk mengurangi biaya sewa per bulan. Kemudian, mengusahakan financing dari perbankan dalam dan luar atau pinjaman lainnya dan menegosiasikan kewajiban perseroan yang akan jatuh tempo dengan pihak ketiga.
Selanjutnya, melakukan program efisiensi biaya kurang lebih 15% hingga 20% dari total biaya operasional dengan tetap memprioritas keselamatan dan keamanaan penerbangan dan pegawai serta layanan. Dan mengajukan permohonan dukungan kepada pemerintah selaku pemegang saham perseroan.
Sedangkan strategi dari aspek operasional, Garuda Indonesia menyiapkan strategi untuk menurunkan biaya variabel penerbangan. Semisal, mengoptimalkan frekuensi dan kapasitas penerbangan baik penerbangan domestik maupun internasional. Lalu, mengoptimalkan layanan kargo dan aktif mendukung upaya-upaya pemerintah khususnya yang terkait dengan penanganan Covid-19 melalui pengangkutan bantuan kemanusiaan, APD, obat-obatan dan alat kesehatan.
Selanjutnya, menutup rute-rute yang tidak menghasilkan profit. Lalu, mengoptimalkan layanan charter pesawat untuk evakuasi WNI yang berada di luar negeri serta membantu proses pemulangan WNA untuk kembali ke negara masing-masing dan layanan charter untuk pengangkutan kargo.
“Selain itu, menunda kedatangan 4 pesawat Airbus A330-900 di tahun 2020 dan mengembangkan internasional hub (Amsterdam dan Jepang) agar layanan Garuda Indonesia menjangkau seluruh dunia dengan mengoptimalkan layanan interline,” katanya.
Leave a reply
