OJK Beberkan Penyebab Transaksi  Bursa Karbon Masih Rendah; Persoalannya Ada di Pemerintah

0
51

Untuk meningkatkan transaksi di IDXCarbon, bursa karbon Indonesia yang diluncurkan pada 26 September 2023, diperlukan dukungan kebijakan dari pemerintah, baik untuk mendorong sisi penawaran (supply), maupun sisi permintaan (demand).

Mahendra Siregar, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan, IDXCarbon yang berada di Bursa Efek Indonesia (BEI), hanya berperan sebagai ‘warung’ yang mempertemukan penjual dan pembeli.

“Memang ‘warung’ ini sudah setahun lebih (diluncurkan). Sudah baik menurut kami. Sudah ada fasilitasnya, peraturannya, perizinannya. Cuma yang dijual belum ada,” kata Mehendra dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (18/11).

Mahendra menyampaikan hal itu merespons sejumlah anggota Komisi yang mempertanyakan perkembangan IDXCarbon, yang dinilai berjalan lamban karena nilai transaksinya masih rendah.

Data OJK menunjukkan, sejak diluncurkan pada 26 September 2023 hingga 29 Oktober 2024, tercatat 90 pengguna jasa yang mendapatkan izin dengan total volume sebesar 614.454 tCO2e dan akumulasi nilai sebesar Rp37,09 miliar. 

Rinciannya, nilai transaksi 26,73 persen di Pasar Reguler, 23,16 persen di Pasar Negosiasi, 49,82 persen di Pasar Lelang, dan 0,29 persen di marketplace.

“Ke depan, potensi Bursa Karbon masih sangat besar mempertimbangkan terdapat 4.041 pendaftar yang tercatat di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) dan tingginya potensi unit karbon yang dapat ditawarkan,”tulis OJK dalam keterangan pers pada 1 November.

Baca Juga :   Pegawai Ditetapkan Jadi Tersangka, OJK Hormati Proses Hukum yang Dilakukan Kejati DKI

Mahendra mengatakan, dari sisi pasokan, penyediaan unit karbon  merupakan tanggung jawab pemerintah.

“Karena produk karbon itu adalah kewenangan pemerintah, mulai dari produk karbonnya, registrasinya, sertifikasinya, surveyor dan semua kebutuhan,” ujarnya.

Di sisi permintaan, kata Mahendra, juga diperlukan ekosistem. 

“Sampai saat ini, belum ada peraturan berkaitan dengan apa yang disebut batas atas emisi dari industri, dari pelaku usaha, sehingga tidak ada insentif  dan disinsentif untuk melakukan pengurangan emisi karbon. Karena, tidak ada ketetapan yang mengatur. Ini lagi-lagi adalah kebijakan dari pemerintah, seperti halnya best practice di seluruh dunia,” ujarnya.

Hal yang sama, kata Mahendra, juga berlaku pada pajak karbon. Pajak karbon ini, jelasnya, bukan terutama untuk menambah penerimaan negara.

Tetapi, untuk mendorong transaksi di pasar karbon. Perusahaan yang menghasilkan emisi yang tinggi dalam proses bisnis, dikompensasikan dengan membeli unit karbon melalui pasar karbon.

“Jadi, baik dari segi pasokan, maupun dari segi permintaan ini diperlukan kebijakan yang terintegrasi, sehingga produknya bisa masuk dan kemudian aktivitasnya juga berjalan baik,” pungkasnya.

Leave a reply

Iconomics