Mengapa Ada Platform Jual Beli Kripto yang Gulung Tikar?

0
1740
Reporter: Petrus Dabu

Kabar sedih datang dari Gopax Indonesia pada awal Juni ini. Perusahaan jual beli cryptocurrency ini mengumumkan berhenti beroperasi mulai Juni ini. Padahal, perusahaan rintisan (start up) asal Korea Selatan ini baru menjajal pasar Indonesia pada Desember 2018 dan resmi dikenalkan kepada publik pada akhir Januari 2019.

Penutupan Gopax Indonesia ini menambah daftar start up perantara jual beli cryptocurrency di Indonesia yang berhenti beroperasi pada tahun ini. Sebelumnya pada Februari lalu, Coinone Indonesia mengumumkan berhenti beroperasi.

Baik Gopax Indonesia maupun Coinone Indonesia adalah start up perantara jual beli cryptocurrency asal Korea Selatan. Coinone lebih dulu menjajal pasar Indonesia yaitu sejak Agustus 2018.

Keduanya punya alasan yang sama berhenti beroperasi di Indonesia yaitu karena alasan bisnis.

“Keputusan penutupan bisnis ini bukanlah hal yang mudah. Kami sangat menikmati hubungan yang terjalin dengan para pengguna Coinone Indonesia selama ini. Hal ini murni karena keputusan bisnis dan tidak ada gangguan keamanan atau insiden apapun,” tulis Coinone Indonesia dalam pengumuman resminya pada Rabu 19 Februari lalu.

Baca Juga :   Pajak Transaksi Kripto Mulai Berlaku: Perkuat Legalitas, Tetapi Tarifnya Kemahalan

Alasan yang sama juga disampaikan oleh Gopax Indonesia. “Penutupan ini adalah murni karena keputusan bisnis semata dan bukan disebabkan karena gangguan keamanan atau insiden apapun,” tulis Gopax Indonesia pada Jumat 5 Juni lalu.

Muhammad Deivito Dunggio, Executive Director Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) berpendapat tiga penyebab adanya exchanger atau perusahaan perantara jual beli kripto gulung tikar. Pertama, karena pandemi global Covid-19. “Ini waktu yang tidak baik,” ujar pria yang biasa dipanggil Oham ini.

Ketika ditanya bukankah situasi pandemi yang mengharuskan banyak orang beraktivitas di rumah justru kondusif untuk perdagangan kripto, Oham mengatakan persoalannya kebanyakan trader di Indonesia adalah kelas menengah ke bawah yang pendapatannya terganggu karena Covid-19 ini. “Memang benar kalau ada duitnya bisa dari rumah, tetapi sekarang orang serba kekurangan duit,” ujarnya.

Oham mengatakan salah satu daya tarik trading kripto adalah tidak membutuhkan modal yang besar untuk memulainya. Di beberapa exchanger saat ini degan modal di bawah Rp 50.000 pun sudah bisa melakukan trading kripto apa saja termasuk Bitcoin yang harganya ratusan juta rupiah. Hal inilah, menurut Oham yang membuat banyak kelas menengah ke bawah di Indonesia menjadi trader kripto.

Baca Juga :   Indonesia Crypto Consumer Association Usulkan BUMN Menjadi Digital Aset Kustodian

Alasan kedua adanya exchanger yang tutup, menurut Oham adalah regulasi dari pemerintah yang ketat. “Memang ada beberapa yang terkendala dengan regulasi. Seperti exchanger-exchanger yang berdiri di Indonesia tetapi stakeholder-nya mungkin berada di luar negeri. Itu juga mengalami kesulitan untuk memenuhi persyaratan,” ujarnya.

Pemerintah Indonesia sendiri sudah merilis sejumlah aturan terkait cryptocurrency. Beberapa aturan tersebut adalah (1) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 Tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset). (2) Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka. (3) . Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 6 tahun 2019 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang Dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Terkait Penyelenggaraan Pasar Fisik Komoditi Di Bursa Berjangka. (4) Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) Di Bursa Berjangka.

Baca Juga :   Belum Ada Lagi Katalis Positif, Harga Bitcoin Masih Bearish

Alasan ketiga, menurut Oham adalah karena kian ketatnya persaingan antara exchanger di Indonesia. Menurutnya, saat ini sudah terdapat 10 exchanger yang beroperasi di Indonesia.

Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Bappebti Sahudi mengatakan pelaku aset kripto yang sudah dapat tanda daftar sebagai calon pedagang aset kripto semuanya ada 13 pedagang. Ia mengatakan Gopax Indonesia dan Coinone Indonesia tidak termasuk dalam 13 yang sudah mendapat tanda daftar itu.

 

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics