Likuiditas Perbankan di AS Mengetat Pasca SVB Jatuh, Apa Efek Kebijakan The Fed ke Indonesia?

0
268
Reporter: Maria Alexandra Fedho

Perbankan di Amerika Serikat (AS) mengalami pengetatan likuiditas. Ekonom Senior Mirae Asset Sekuritas, Rully Wisnubroto mengatakan pasca kebangkrutan Silicon Valley Bank (SVB) terjadi pengetatan likuiditas di sistem perbankan Amerika Serikat yang terlihat dari indeks kondisi finansial sistem di AS. Kondisi ini berdampak pada perbankan yang ke depan agar lebih berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya.

“Bahwa perbankan itu ke depannya mungkin akan lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit dan hal ini disebabkan oleh proses pengetatan moneter atau kenaikan suku bunga di AS yang dilakukan secara agresif dalam waktu yang relatif singkat,” jelas Rully dalam paparab mengenai Likuiditas Sektor Keuangan di AS Mengetat Sejak Kejatuhan SVB pada Jumat (24/03/2023).

Dalam setahun, AS sudah menaikkan sebanyak 475 basis poin yang dimulai dari 0,25%. Kenaikan yang sangat agresif itu kemudian menimbulkan krisis likuiditas yang dialami oleh beberapa perbankan.

Impact-nya biasanya dalam sektor perbankan itu terjadi impact berantai yang cukup cepat,” kata Rully.

Ia menyampaikan bahwa sejak kebangkrutan SVB ini, pricing Federal Fund Rate (FFR) ini ke depan turun signifikan dari sebelumnya mendekati 6% kini di kisaran 5% sampai 5,25%. Hal ini sesuai dengan hasil Summary of Economy Projection yang dilakukan oleh The Fed.

Baca Juga :   Pemerintah Lakukan Segmentasi untuk Kebijakan Penjaminan Kredit

“Mereka memperkirakan Fed Fund Rate itu di 2023 itu akan berada di 5,1 atau kita translasinya ke 5-5,25%, atau dalam kata lain kemungkinan akan di bulan Mei nanti mungkin The Fed kemungkinan besar akan menaikan 25 basis poin ke rangenya 5,25%,” tambahnya.

Menurutnya, The Fed akan berhenti menaikkan suku bunga di terminal rate 5,25% dan diharapkan akan dipertahankan sampai dengan akhir tahun secara gradual. Adapun dengan berhentinya The Fed menaikkan suku bunga, maka akan membuat treasury akan menurun signifikan.

“Untuk treasury itu turun signifikan, baik yang untuk ten year maupun yang two year. Jadi memang ini yang diperhatikan Bank Indonesia kemarin itu untuk yang two year-nya itu berada di level 3,94 sementara yang untuk ten year itu 3,43,” lanjutnya.

Hal ini juga mengindikasikan bahwa Amerika Serikat akan mengalami resesi, yang mana spread antara Surat Berharga Negara yang tenornya sepuluh tahun dan dua tahun masing-masing mengalami kenaikan cukup signifikan. Menurutnya, hal ini berdampak positif pada pasar obligasi negara di Indonesia.

Baca Juga :   IPCC Bidik Jadi Operator Pelabuhan Patimban

“Seharusnya memang positif bagi pasar obligasi negara di Indonesia dengan spread-nya yang meningkat seharusnya terjadi inflow yang cukup besar foreign capital inflow di pasar obligasi di dalam negeri sehingga ke depan memang kita perhatikan ini akan berdampak positif kepada yield dari Surat Berharga Negara (SBN) most like dia akan turun,” tambahnya.

Rully mengungkapkan bahwa secara Year To Date (YTD) rupiah masih cukup baik kinerjanya karena mengalami apresiasi sebesar 1,4% dan menjadi salah satu yang terbaik di antara mata uang lainnya di beberapa negara maju dan berkembang.

“Jadi kalau ke depan kalau kita lihat bahwa untuk sampai dengan akhir tahun kita masih percaya bahwa rupiah trennya akan menguat,” ungkapnya.

Meskipun dalam jangka pendek maupun menengah, risiko volatilitasnya tetap tinggi karena adanya ketidakpastian global. Dalam hal ini, Bank Indonesia pun masih akan tetap memfokuskan kepada stabilitas ekonomi di dalam negeri dan memonitor aspek antara yield dari US treasury dengan SBN.

Leave a reply

Iconomics