
Kasus Infeksi Virus Corona Masih Tinggi, Bagaimana Proyeksi IHSG Hingga Akhir Tahun 2020?

Kim Kwie Sjamsudin, Head of Equity Research BNI Sekuritas/Iconomics
Setelah menguat sekitar 1,73% sepanjang Agustus lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada September ini kembali mengalami tekanan. Jumlah kasus Covid-19 yang masih terus naik yang kemudian diikuti dengan adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) jilid II di DKI Jakarta, membuat kinerja pasar saham sepanjang September hingga Senin (28/9) melemah 6,34%.
IHSG sudah sempat menyentuh level 5.371 pada Kamis (27/8) lalu dan pada Senin (28/9) ini ditutup di level 4.906,55. Bagaiaman proyeksi IHSG pada akhir tahun ini di tengah ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19?
Kim Kwie Sjamsudin, Head of Equity Research BNI Sekuritas mengatakan pihaknya sempat menaikan target IHSG tahun ini dari 5.300 ke 5.550. Namun, setelah adanya kebijakan PSBB jilid II di DKI Jakarta yang merupakan kejutan besar di pasar saham, perkiraan tersebut tampaknya tidak mudah untuk dicapai.
“Kita pikir akan sulit target indeks kita yang baru untuk bisa dicapai tanpa adanya katalis jangka pendek,” ujarnya dalam webinar yang diselenggarakan Program Studi Magister Ekonomi Terapan Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta, Senin (28/9).
PSBB jilid II di Jakarta, menurut Kim mempengaruhi sentimen pasar terutama investor asing. Dalam satu bulan terakhir terjadi arus aliran keluar dana asing (foreign outflow) yang masif dari pasar saham Indonesia yaitu sebesar lebih dari US$1 miliar.
Namun, lanjut Kim, masih ada sejumlah katalis positif yang bisa mengungkit IHSG ke depan. Dalam jangka pendek dari dalam negeri yang bisa memperbaiki sentimen pasar adalah bila RUU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan. ”Investor asing juga telah lama menunggu-nunggu pengesahan dari Omnibus Law ini dan berita terakhir yang kita baca siang ini hanya tinggal satu klaster ketenagakerjaan yang masih dibahas dan kemungkinan besar ini dapat disahkan dalam beberapa minggu ke depan,” ujarnya.
RUU ini memang sejauh ini masih kontroversi. Gelombang penolakan terutama dari aktivis serikat pekerja masih terus bergulir yang bisa menjadi ganjalan disahkannya undang-undang ini.
Selain Omnibus Law, katalis yang juga bisa membantu memperbaiki sentiment pasar, menurut Kim adalah bila rencana pemerintah untuk melakukan vaksinasi 100 juta penduduk di Desember dan Januari 2021 terealisasi. “Ini suatu katalis yang sangat besar juga,” ujarnya.
Selain katalis jangka pendek tersebut, menurutnya terdapat juga sejumlah katalis jangka menengah dan panjang yang dapat menunjang kinerja pasar saham Indoensia ke depannya.
Pertama, likuiditas global yang masif. Sejak terjadinya pandemi ini total jumlah stimulus moneter dan fiskal di seluruh dunia mencapai sekitar US$15 triliun atau sekitar 17% dari GDP global secara tahunan atau sekitar 15 kali GDP tahunan Indonesia tahun lalu.
“Banyaknya likuiditas global ini, yang disertai dengan rendahnya suku bunga biasanya meningkatkan risk appetite dari investor di mana-mana dan itu telah kita lihat terutama di negara-negara maju seperti Wall Street [indeks]. Kita lihat bahkan banyak juga bantuan dari pemerintah untuk rakyat di AS itu dipakai untuk investasi di saham. Jadi, kita lihat ini satu faktor yang sangat positif ke depannya,” ujar Kim.
Kedua, suku bunga riil global yang rendah. Hal ini terjadi karena upaya pemerintah dan bank sentral di berbagai negara untuk mencegah terjadinya great depression. Bank sentral AS, The Fed belakangan ini juga bahkan memberikan sinyal akan mempertahankan suku bunga rendah yang mendekati 0% saat ini hingga tahun 2023.
Ketiga, adanya stimulus lebih lanjut mengingat pandemi Covid-19 ini masih terus berlangsung dan pemulihan ekonomi juga tidak secepat yang diharapkan. “Sekarang ini ada diskusi di AS di Kongres untuk memberikan stimulus yang lebih lanjut,” ujarnya.
Keempat, ekspektasi pemulihan ekonomi pada tahun 2021 setelah mengalami penurunan pada tahun ini. IMF memperkirakan tahun depan pertumbuhan GDP global sebesar 5%. Ekonomi Indonesia juga diperkirakan akan tumbuh sebesar 5% pada tahun depan.
Kelima, persetujuan vaksin (vaccine approval). Saat ini ada sekitar 42 vaksin yang sedang menjalani uji klinis pada manusia. Tiga diantaranya yang banyak dibicarakan adalah AstraZeneca, Moderna dan Sinovac yang sudah memasuki uji klinis tahap tiga. Sinovac bahkan sudah mendapatkan persetujuan untuk penggunaan terbatas.
Namun disamping berbagai katalis positif tersebut, ada juga risiko-rikso yang patut diwaspadai. Kim mengatakan setidaknya ada tiga risiko utama yang memberat pasar saham ke depan. Pertama adalah kemungkinan adanya gelombang kedua dari Covid-19 terutama di negara-negara belahan utara. Kedua, ada kemungkinan juga tertundanya vaksin mengingat bisanya pengembangan vaksin membutuhkan waktu 5-10 tahun, tetapi untuk Covid-19 prosesnya lebih cepat yaitu 12 hingga 18 bulan.
Ketiga ada kemungkinan election dispute pada pilres AS mengingat sekarang ini banyak pemilih di sana yang mengirimkan suaranya melalui surat sehingga membutuhkan waktu beberapa hari bahkan minggu untuk menentukan pemenang.
Dalam kondisi pasar yang masih belum menentu ini, seperti apa strategi trading yang dilakukan? Hans Kwee, praktisi pasar modal dan dosen Magister Ekonomi Terapakan Universitas Atmajaya merekomendasikan strategi swing trading yaitu beli pada saat kondisi pasar lagi menurun. “Kemudian ketika menguat menjual lagi,” ujarnya.
Hans tidak menyarankan melakukan trading harian, karena menurutnya komisinya cukup banyak tergerus untuk fee untuk broker.
BNI Sekuritas sendiri menjagokan saham beberapa emiten yaitu BBRI, BMRI, TLKM, UNVR,SMGR, JSMR, AALI dan KLBF.
Leave a reply
