
Anjuran BPK ke BPJS Ketenagakerjaan Jual Saham Dinilai Bikin Investor Khawatir dan Gaduh Pasar Modal

Gedung BPK/Dokumentasi Setkab
Pakar hukum pidana Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad mengkritik langkah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diduga mengintervensi pasar saham Indonesia. Aksi cut loss atau menjual saham yang disarankan dan sebagai bentuk intervensi BPK kepada BPJS Ketenagakerjaan itu berpotensi merugikan investor.
Menurut Suparji, keputusan untuk menjual saham dan take profit sebenarnya sangat tergantung dari pergerakan harga di pasar. “Namun kebijakan tersebut bersifat teknis dan merupakan kewenangan dari direksi dari BPJS. Karena salah satu kiat untuk melokalisir risiko adalah dengan meminimalisasi capital loss pada portofolio saham,” ujar Suparji kepada wartawan, Minggu (4/7).
Namun, kata Suparji, yang jadi permasalahan bahwa hal ini dilakukan bukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan seperti BPK itu. Rekomendasi menjual saham maupun take profit karena itu akan berpengaruh terhadap laporan keuangan BPJS dan itu merupakan hak dari direksi BPJS Ketenagakerjaan.
Dampak dari rekomendasi menjual saham oleh BPK, kata Suparji, akan berpengaruh pada kondisi pasar bursa di tengah pandemi saat ini. Artinya, saham-saham yang disebut BPK nantinya akan sepi peminat alias investor ragu menanamkan investasi di keenam saham tersebut.
“Kondisi ini merugikan bagi trader atau investor termasuk emiten yang disebutkan oleh BPK tersebut,” kata Suparji.
Menurut Suparji, potensi investor takut dalam berinvestasi, mengingat opini menjual sejumlah saham tersebut berpotensi menimbulkan kegaduhan pasar. “Karena itu, harus ada kehati-hatian dalam prosesnya. Agar tidak membuat gaduh di pasar bursa,” kata Suparji.
Sebelumnya mantan Direktur Utama BEI, Hasan Zein Mahmud mengkritisi adanya instruksi BPK untuk melakukan jual rugi keenam saham yang menjadi portofolio BPJS Ketenagakerjaan. Keenam saham tersebut antara lain PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), PT London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP), dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG).
Dia menilai, BPK sebagai lembaga tinggi negara seharusnya mandiri dan bebas, memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Soal menjual saham dan profit taking adalah terminologi teknis sehingga bila diucapkan BPK akan berkonotasi komando.
Kemudian, kata Hasan, pelaksanaan cut loss dan take profit akan secara langsung berpengaruh terhadap kinerja keuangan BPJS. Selain itu, bisa langsung mempengaruhi realisasi rugi laba dan akan berdampak pada keuangan negara.
“Apakah BPK bisa dimintai pertanggunganjawaban terhadap kerugian atau opportunity profit yang hilang yang diderita BPJS, akibat perintah cut loss atau take profit?” ujar Hasan.
Leave a reply
