Analis Pasar Modal Perkirakan Tidak Terjadi Trading Halt Kedua

0
33

Analis pasar modal, Hans Kwee memperkirakan tidak terjadi trading halt kedua dan ketiga di pasar saham Indonesia pada perdagangan saham, Selasa (8/4).

Pada pagi hari ini, perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) anjlok lebih dari 8% ke level di bawah 6.000, dari 6.510,62 pada penutupan perdagangan sebelum libur Lebaran 27 Maret lalu.

Penurunan terjadi sebagai reaksi investor atas kebijakan tarif pemerintah Amerika Serikat yang diumumkan pada 2 April lalu.

Menurut Hans, penurunan IHSG hingga sekitar 9% pada awal perdagangan saham pagi ini berlebihan.

“Tetapi kita juga tentu menyadari bahwa ini sebagai respons dari pada pasar kita tutup (sejak 27 Maret). Karena kalau kita lihat Bursa Wall Street itu Kamis, Jumat dan Senin mengalami koreksi. Tetapi di hari Senin, bursa Wall Street itu sudah menunjukkan tanda-tanda perlawanan di sana. Kemudian kalau kita lihat bursa Asia juga Senen terkoreksi cukup dalam. Jadi, ketika bursa lain terkoreski dalam, bursa kita ditutup, jadi responsnya agak berlebih. Jadi, tekanan turunnya agak berlebih pada pasar kita,” ujar Hans dalam wawancara dengan CNN TV Indonesia.

Theiconomics.com sudah meminta izin Hans untuk mengutip pernyataannya.

Pada pagi ini, sebelum perdagangan saham dibuka BEI merevisi sejumlah ketentuan, yaitu Auto Rejection Bawah (ARB) disesuaikan menjadi 15% bagi Efek berupa saham pada Papan Utama, Papan Pengembangan, dan Papan Ekonomi Baru, kemudian Exchange-Traded Fund (ETF), serta Dana Investasi Real Estat (DIRE) untuk seluruh rentang harga.

Baca Juga :   Security Crowdfunding Resmi Diluncurkan, OJK Ajak Milenial Investasi di Pasar Modal

Sementara itu, ketentuan penghentian sementara pelaksanaan perdagangan saham atau trading halt  disesuaikan dalam hal terjadi penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga lebih dari 8%.

BEI akan melakukan trading halt kedua apabila IHSG mengalami penurunan lanjutan hingga lebih dari 15% dan trading suspend apabila IHSG mengalami penurunan lanjutan hingga lebih dari 20%  sampai akhir sesi perdagangan atau lebih dari satu sesi perdagangan setelah mendapat persetujuan atau perintah OJK.

Menurut Hans, trading halt kedua tidak akan terjadi seiring dengan perubahan ketentuan ARB menjadi 15%. 

“Artinya, trading halt itu mungkin cuma terjadi pada waktu penurunan 8%, tidak mungkin ada trading halt kedua pada penurunan 15% karena itu artinya seluruh saham turun 15% dan itu tidak mungkin terjadi. Jadi, trading halt kedua tidak akan terjadi, apalagi trading halt ketiga yang 20%. Itu tidak mungkin terjadi,” ujarnya.

Hans mengatakan mestinya investor pasar saham Indonesia lebih rasional karena sebenarnya ekonomi Indonesia tidak krisis dan kebijakan tarif pemerintah Amerika Serikat itu tidak langsung berdampak signigikan ke pendapatan sebagian besar emiten di dalam negeri.

Baca Juga :   Sepak Terjang Investor dan OJK di Pasar Modal Tahun 2019

“Jadi investor harusnya akumulasi beli pada periode penurunan yang tajam saat ini,” ujar lulusan doktor ekonomi keuangan ini.

Menurut Hans, kebijakan tarif pemerintah Amerika Serikat sebenarnya memukul warga Amerika sendiri. 

“Jadi, kalau kita lihat tarif itu sebenarnya yang membayar adalah warga Amerika. Sehingga ketika tarif diterapkan masyarakat Amerika harus membayar lebih mahal,” ujarnya.

Selain itu, menurut dia, rencana Donald Trump untuk menyeimbangkan neraca perdagangan Amerika Serikat  dengan melakukan kenaikan tarif sebenarnya sudah tidak tepat karena barang-barang yang dikenakan tarif tinggi itu rata-rata sudah tidak diproduksi di negara itu lagi.

“Tentu butuh waktu untuk mengembalikan industri itu kembali ke Amerika dan sebagian besar tidak masuk akal untuk dikenakan tarif, seperti industri tekstil, kemudian sepatu dan lain-lain. Itu tidak mungkin buka pabrik di Amerika karena mereka tidak mendapatkan tenaga kerja murah dan warga Amerika sendiri tidak mungkin lagi bekerja pada pabrik-pabrik seperti itu,” ujarnya.

Meski Indonesia juga dikenakan tarif resiprokal 32%, Hans melihat dampaknya relatif kecil pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena komposisi ekspor Indonesia pada PDB sebesar 20%-25%. Sementara nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat sekitar 10%.

“Aritnya, secara langsung sebenarnya ini tidak benar-benar signifikan memukul ekonomi Indonesia,” ujarnya.

Baca Juga :   Bagaimana Kinerja IHSG Dibandingkan Negara Lain di Dunia?

Dari sisi emiten di BEI, menurut dia, tidak banyak emiten domestik yang melakukan ekspor ke Amerika Serikat.

“Cuma beberapa yang melakuan ekspor ke Amerika cukup besar, tetapi sisanya relatif lebih kecil. Artinya, secara langsung itu enggak akan langsung memukul pada emiten-emiten kita dan memukul ekonomi kita,” ujarnya.

Meski demikian, Hans mengatakan investor memang mengkhawatirkan adanya perang tarif yang dilakukan sejumlah negara seperti Tiongkok, merespons kebijakan pemerintah Amerika Serikat.

“Artinya, perang dagangnya mungkin akan berlanjut terus menerus, tarif akan saling diterapkan dan pengalaman di tahun 1930-an perdagangan dunia itu turun 65% pasca tarif tinggi. Jadi, ini yang agak mengkhawatirkan. Artinya, akan terkonfirmasi global ekonomi memasuki periode resesi. Ini yang menyebabkan orang sedikit lebih khawatir,’” ujarnya.

Selain negosiasi dengan pemerintah Amerika Serikat, Hans meminta pemerintah Indonesia memperhatikan dampak banjir barang-barang impor dari sejumlah negara ke Indonesia yang mencari pasar baru dengan harga yang lebih murah.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics