
3 Kendala dan Model Startup yang Diincar Investor

Deputi Akses Permodalan Kemenparekraf Fadjar Hutomo/The Iconomics
Kementerian Pariwisata dan Badan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menilai setidaknya ada 3 kendala yang menghambat pertumbuhan perusahaan rintisan di Indonesia. Ketiga kendala itu meliputi manusia, mentor dan money (modal).
Dikatakan Deputi Akses Permodalan Kemenparekraf Fadjar Hutomo, masalah di tingkat paling hulu berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM). Merujuk kepada data lembaganya, bahwa 29,41% dari perusahaan perintis di Indonesia melihat SDM sebagai ‘masalah utama’ yang mereka hadapi.
Untuk meningkatkan kualitas SDM itu, kata Fadjar, diperlukan pembinaan dari para mentor yang dapat mengajari talenta-talenta Tanah Air yang berpotensi tentang kunci sukses, faktor kegagalan dan bagaimana bisa bangkit dari kegagalan sehingga menjadi sukses. Terlebih hanya sekitar 10% dari startup itu berujung sukses.
Masalah permodalan juga menjadi salah satu faktor terbesar untuk memberdayakan startup di Indonesia. Karena itu, kata Fadjar, para wisarausahawan tidak bisa mengandalkan permodalan dari perbankan atau bahkan Corporate Ventures (CV) pada tahap seeding perusahaan.
Apalagi profitabilitas dari startup baru akan terlihat dari tahap mid to late stages. Dengan demikian, diperlukan pihak lain yang bersedia untuk mendanai startup ini pada tahap seed dan awal.
“Barangkali di sinilah ranah government, ranah dari CSR. Ranah dari angel investor. Di fase hidupnya startup di fase ide dan early seeding, belum banyak CV yang mau masuk secara komersial. Kalau sudah punya traction baru mau masuk,” kata Fadjar di Jakarta beberapa waktu lalu.
Dengan demikian, kata Fadjar, peran pemerintah adalah membangun ekosistem yang dapat memberdayakan para startup. Dan ekosistem ini harus berdasarkan prinsip ‘3I’ yakni inovasi, industri, dan investasi.
“Persoalan hulu tadi membutuhkan satu ekosistem yang lebih besar lagi. Tadi ada 3M, sekarang ada 3I, pertama inovasinya, kalau bicara startup tentu bicara inovasi, bicara valuasi itu kan juga inovasi. Kemudian itu industri, untuk bisa sustain dan going concern industrinya harus hidup, dan ketiga adalah investment,” kata Fadjar.
Berbicara potensi ekonomi digital Indonesia hingga 5 tahun ke depan, Fadjar memperkirakan antara Rp 1.200 triliun hingga Rp 1.400 triliun. Dari potensi ini, perusahaan-perusahaan akselerator atau inkubator seperti Digitaraya sangat dibutuhkan untuk menangani tantangan-tantangan yang dihadapi startup Indonesia.
“Kami berterima kasih kepada Digitaraya untuk membantu kami menyelesaikan persoalan-persoalan dan menyiapkan masa depan ekonomi Indonesia ini, kami sangat percaya bahwa ekonomi kreatif masa depan kita adalah digital kreatif ekonomi,” kata Fadjar.
Menanggapi uraian Fadjar itu, Managing Director Digitaraya Nicole Yap mengatakan, lingkungan investasi di ranah startup sudah mulai berubah saat ini. Karena itu pula, investor tidak lagi hanya mencari startup dengan pertumbuhan pesat atau dapat menggarap pengguna secara eksponensial. Investor juga melihat kesinambungan suatu startup dari segi model bisnis dan keuangannya.
“Jadi pertumbuhan yang terlihat pada startup ini mungkin akan lebih lambat ketimbang sebelumnya, tapi itu akan menunjukkan betapa kokohnya model bisnisnya. Jadi ketika suatu unicorn baru muncul, model bisnis dari perusahaan ini akan lebih kokoh dan itu yang selama ini dicari para investor,” kata Nicole.
Leave a reply
