
Tetap Waspada, Harga Komoditas Diperkirakan Masih Cenderung Tinggi

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam konferensi pers APBN Kita Edisi September, Jumat (21/10).
Setelah pandemi terkendali, kini risiko ekonomi beralih ke risko bidang ekonomi dan keuangan, terutama kondisi global yang makin bergejolak. Harga komoditas-komoditas utama masih relatif tinggi dengan volatilitas yang juga tinggi, seperti harga gas, batubara, minyak mentah, CPO, gandum, kedelai, dan jagung.
“Harga komoditas ini masih sangat tidak pasti, cenderung tinggi karena memang faktor yang mempengaruhinya yaitu geopolitik seperti terjadinya perang yang mengganggu sisi pasokan dan sisi distribusi cenderung membuat harga-harga dari komoditas-komoditas ini menjadi tinggi dan mudah sekali bergejolak,” ujar Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam konferensi pers APBN Kita Edisi September, Jumat (21/10).
Harga komoditas yang tinggi ini, lanjut Sri Mulyani yang kemudian terefleksikan pada tingkat inflasi tinggi di berbagai negara. Inggiris, baru saja mengumumkan tingkat inflasinya berada di atas 10% yaitu 10,1% dan diperkirakan masih bertahan di level yang tinggi. Tingkat inflasi di Amerika Serikat juga masih tinggi yaitu 8,2%. Kondisi ini tentu akan membulatkan tekat dan determinasi dari Federal Reserve untuk terus menaikkan suku bunga acuan. Sri Mulyani memperkirkan bank sentral Amerika Serikat itu akan mengerek suku bunga hingga mencapai 4,5% pada akhir tahun. Harga energi yang tinggi di Eropa juga menekan ekonomi benua biru. Tingkat inflasi Eropa mencapai level 10%. Hal yang sama juga teradi di negara emerging seperti Brasil, Meksiko, India dan Indonesia.
“Dengan inflasi yang tinggi dan tadi harga-harga yang cenderung tinggi dan bergejolak, maka respons kebijakan moneter juga mencoba untuk menstabilkan. Menstabilkan harga caranya dengan menaikkan suku bunga dan mengetatkan likuiditas,” ujar Sri Mulyani.
Seiring dengan gejolak harga dan pengetatan kebijakan moneter dan fiskal di berbagai negara, outloook perekonomian global menjadi melemah. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia terus direvisi menurun. Tahun 2022 ini, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia hanya 3,2% dan tahun depan akan makin melemah ke level 2,7%. Inflasi juga diperkirakan masih cenderung tingggi walaupun tahun depan diperkirakan sedikit mengalami penurunan.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Eropa dan Tiongkok, semuanya menunjukkan tren pelemahan pada tahun ini dan tahun depan.
“Indonesia sendiri kondisinya relatif resilien dengan outlook untuk 2022 masih diproyeksikan tetap tumbuh di 5,3% dan tahun depan di 5,0%,” ujar Sri Mulyani.
Namun, Indonesia harus tetap waspada. “Karena memang guncangan ekonomi ini sangat-sangat kencang dan sangat-sangat besar yang harus terus kita kelola dan kita waspadai secara baik,”ujarnya.
Kinerja eksternal Indonesia masih baik yang terlihat dari neraca perdagangan yang masih surplus sebsar US$4,9 miliar pada September 2022 dan terjadi surplus selama 29 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Surplus akumulasi selama tahun 2022 hingga September mencapai US$39,9 miliar. Sri Mulyani mengatakan surplus neraca perdagangan ini memberikan bantalan terhadap gejolak yang terjadi dari sisi global.
Dalam jangka pandek, Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekononi Indonesia pada kuartal ketiga 2022 masih kuat yang terlihat dari berbagai indikator seperti mobilitas, indeks penjualan ritel dan spending index dari Bank Mandiri, yang semuanya masih dalam positif dan ekspansif. Dari sisi suplai juga masih baik, seperti terlihat dari PMI Manufaktur yang berada di zona ekspansif.
Leave a reply
