
Tarif untuk PPN Naik Secara Bertahap Hingga 12%, Bagaimana dengan Sembako?

Ilustrasi pegawai Bank DKI sedang menjelaskan layanan perbankan kepada nasabah/Dok. Bank DKI
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dinaikan secara bertahap hingga mencapai 12%, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada Kamis lalu.
Saat ini tarif PPN yang berlaku adalah 10%. Dalam Undang-Undang HPP, tarif PPN naik menjadi 11% pada April 2022. Selanjutnya, paling lambat Januari 2025, tarif PPN naik menjadi 12%.
Pada Juni lalu, saat pembahasan RUU HPP ini belum bergulir di DPR, ramai dipolemikan soal PPN atas kebutuhan pokok (sembako). Selain itu juga pengenaan PPN atas jasa pendidikan, jasa kesehatan dan jasa sosial.
Kritik tajam diberikan kepada pemerintah atas wacana tersebut. Pemerintah dinilai memberikan tambahan kuk alias beban kepada masyarakat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Ya, pemerintah dan DPR memang akhirnya mengenakan PPN untuk barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan dan jasa sosial. Tetapi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, yang dikenakan PPN adalah barang dan jasa yang dikonsumsi oleh kelas atas (high end), bukan barang jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat kebanyakan.
“Karena kalau kita berbicara tentang sembako tidak lagi semua satu jenis sembako. Ada yang sangat high end, sophisticated, dan sangat mahal. Ada yang memang merupakan kebutuhan sembako masyarakat banyak. Sehingga kita harus membedakan. Ini yang disebut asas keadilan. Demikian juga jasa-jasa kesehatan dan pendidikan. Ada yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak dan itu tidak dikenakan PPN. Namun ada yang sifatnya very sophisticated dan high end yang kemudian dia terkena PPN,” ujar Sri Mulyani, Kamis lalu.
Sri Mulyani mengatakan perluasan basis PPN ini mempertimbangkan asas keadilan. Untuk masyarakat berpendapatan menengah bawah, dari sisi konsumsi baik barang maupun jasa, dikenakan PPN perkecualian. Sedangkan mereka yang sudah memiliki daya beli yang sangat tinggi dan memang selera konsumsinya pada level yang tinggi tentu membayar PPN. “Ini yang disebut asas keadilan dari sisi PPN,” ujarnya.
Selain soal tarif dan perluasan basis PPN, dalam UU HPP juga ada tarif PPN khsuus untuk jenis barang jasa tertentu atau sektor tertentu. Ini semacam Goods and Services Tax (GST) yang ditepkan dengan tarif final. Misalnya 1%, 2% atau 3% dari peredaran usaha.
Untuk mengatur lebih lanjut soal PPN khusus ini, tambah Sri Mulyani hanya diperlukan PMK untuk mengaturnya.
“Ini terutama karena berbagai aspirasi untuk menggunakan GST type yang dilakukan oleh beberapa negara. Jadi, ini yang merupakan fleksibilitas sehingga menempatkan Indonesia selalu dalam posisi yang bisa menjaga kompetitifnya dan komparasifitasnya dengan negara lain,” ujarnya.
Leave a reply
