Surplus APBN Jadi Modal untuk Menghadapi Risiko Baru Perekonomian

0
176

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan surplus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terjadi hingga April 2022 lalu menjadi modal yang bagus untuk menghadapi risiko baru perekonomian yaitu inflasi tinggi, suku bunga tinggi, pengetatan likuiditas dan pertumbuhan ekonomi global yang lemah.

Hingga April 2022, Kementerian Keuangan mencatat APBN tahun 2022 mengalami surplus baik dari sisi keseimbangan primer, maupun secara keseluruhan. Surplus ini terjadi karena realisasi pendapatan negara yang jauh lebih tinggi dibandingkan realisasi belanja.

Sri Mulyani, dalam konferensi pers ‘APBN Kita’ untuk periode April 2022 mengungkapkan, sepanjang Januari hingga April 2022, total realisasi pendapatan atau penerimaan negara mencapai Rp853,6 triliun atau telah mencapai 46,2% dari target Rp1.846 triliun. Realisasi pendapatan negara ini mengalami pertumbuhan yang signifikan yaitu 45,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Semua komponen penerimaan negara, baik pajak, bea dan cukai maupun Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) mengalami pertumbuhan yang signifikan hingga April 2022.

Pendapatan pajak tercatat sebesar Rp567,7 triliun atau tumbuh 51,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Realisasi penerimaan bea dan cukai hingga April mencapai Rp108,4 triliun, tumbuh 37,7%. Sementara realisasi PNBP mencapai Rp177,4 triliun, tumbuh 35%.

Baca Juga :   Pemberlakukan Cukai Plastik dan Minuman Berpemanis Akan Dilakukan Tahun Depan

Di sisi belanja, meski pertumbuhannya tak seagresif penerimaan negara, tetapi Sri Mulayani mengatakan realisasi belanja masih sesuai yang direncanakan. Hingga April 2022, total belanja negara mencapai Rp750,5 triliun, atau sekitar 27,6% dari yang direncanakan sepanjang tahun ini 2.714 triliun. Realisasi belanja negara ini tumbuh 3,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Belanja pemerintah pusat tumbuh sebesar 3,7% atau terealisasi sebesar Rp508 triliun. Kemudian, transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) terealisasi sebesar Rp242,4 triliun atau tumbuh 4% .

“Yang menarik, semua belanja ini dalam tren positive growth mulai April. Karena, kalau kita lihat Maret lalu, pertumbuhannya masih negatif semua. Jadi, ini sudah mulai terjadi akselerasi dari pemulihan belanja kita,” ujar Sri Mulyani.

Dengan postur penerimaan dan belanja hingga April tersebut, keseimbangan primer atau selisih pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang, mengalami surplus sebesar Rp220,9 triliun, melonjak dari positif Rp94,7 triliun pada Maret lalu.

“Bandingkan tahun lalu, keseimbangan primernya itu defisit Rp36,5 triliun, sekarang positif Rp220,9 triliun,” ujar Sri Mulyani.

Baca Juga :   Dari Sisi Investasi dan Produksi, Ekonomi Indonesia Disebut Pulih Cukup Meyakinkan

Secara keseluruhan, APBN 2022 hingga April tercatat surplus sebesar Rp103,1 triliun, dari sebelumnya pada periode yang sama tahun lalu masih defisit sebesar Rp138,2 truiliun. Pada Maret 2022 lalu, surplus APBN masih tercatat sebesar Rp10 triliun.

“Jadi, secara umum kalau kita lihat postur APBN sampai dengan akhir April itu dalam kondisi surplus sangat besar, baik keseimbangan primer, maupun dari sisi total balance-nya yaitu surplus 0,58% dari PDB,” ujar Sri Mulyani.

Dengan kondisi surplus tersebut, realisasi pembiayaan pun mengalami penurunan. Hingga April, total pembiayaan APBN mencapai Rp142 triliun, jauh lebih rendah bandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp397 triliun.

Sri Mulyani mengatakan surplus APBN ini merupakan suatu prestasi yang sangat baik dalam konsolidasi APBN. Surplus ini akan digunakan sebagai stabilisator atau shock absorber dalam menghadapi guncangan perekonomian yang kini bergeser dari pandemi ke gucanagan karena kenaikan harga komoditas.

Ia mengatakan tantangan ekonomi kedepan menjadi makin rumit, dari sebelumnya didominasi oleh isu pandemi, kedepan tantangannya didominasi oleh kenaikan harga-harga atau inflasi, baik karena disrupsi maupun karena geopolitik. Kenaikan harga-harga akan berimbas kepada kebijakan moneter yaitu kenaikan suku bunga dan likuditas ketat. Sementara di sisi lain, pertumbuhan ekonomi global cenderung melemah.

Baca Juga :   Komisi VII Minta SKK Migas Naikkan Lifting Lebih Tinggi dari Target APBN

“Inflasi tinggi, suku bunga tinggi, likuiditas ketat dan pertumbuhan ekonomi global yang melambat. Ini adalah risiko yang harus jadi pusat perhatian kita untuk tahun ini dan tahun depan. Oleh karena itu, APBN meskipun tetap menjadi instrumen yang utama dan pertama di dalam melindungi ekonomi masyarakat, strateginya harus mulai diubah,”terang Sri Mulyani.

Menurut Sri Mulyani, konsolidasi APBN menjadi suatu keharusan. Dalam kondisi inflasi tinggi, suku bunga tinggi, likuiditas ketat dan pertumbuhan ekonomi lemah, APBN tidak boleh lemah atau harus segera sehat.

“Oleh karena itu, kalau kita lihat, fokus kita tahun ini adalah: satu, menjaga momentum pemulihan ekonomi tetap terjaga; kedua, menjaga daya beli rakyat dan ketiga, menjaga kesehatan APBN sendiri,” ujarnya.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics