Soal Oplos BBM, Pertamina Sebut Hanya Tambah Zat Adiktif, Tetapi Kejaksaan Temukan Bukti Lain

0
71

Kejaksaan Agung menegaskan praktik pengoplosan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang memiliki nilai Research Octane Number (RON) lebih rendah dengan yang lebih tinggi merupakan fakta yang ditemukan dalam pemeriksaan saksi dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di perusahaan plat merah itu.

Penegasan itu disampaikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Abdul Qohar merespons bantahan Pertamina Patra Niaga.

Mars Ega Legowo Putra, Pelaksana Tugas Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga dalam rapat kerja dengan Komisi XII DPR RI, Rabu (26/2) membantah adanya pencampuran antara RON 90 dengan RON 92, sebagaimana disampaikan penyidik Kejaksaan dalam konferensi pers pada Selasa (25/2).

Ega mengatakan Pertamina Patra Niaga hanya menginjeksi zat adiktif dan pewarna pada produk RON 92, sebagai pembeda dengan produk sejenis dan sekaligus memberikan nilai tambah kepada konsumen.

Praktik injeksi zat adiktif ini lumrah dilakukan pada zat cair seperti BBM.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Abdul Qohar  yang dimintai tanggapannya oleh wartawan dalam konferensi pers Rabu malam, mengatakan mengikuti pernyataan Ega di Komisi XII melalui televisi.

“Yang pasti kami penyidik, bekerja dengan alat bukti. Tadi sempat saya mendengar pada saat hearing dengan Komisi XII, saya juga menyaksikan di televisi, bahwa tadi memang disampaikan tidak ada blending. RON tidak berubah. Tetapi yang disampaikan ketika bahan bakar itu (RON 92) itu dicampur dengan zat adiktif dan pewarna, maka tidak akan merubah RON. Saya dengar seperti itu. Tetapi penyidik menemukan, tidak seperti itu. Ada RON 90 atau di bawahnya, RON 88, di-blending dengan RON 92. Jadi, RON dengan RON,” kata Abdul Qohar.

Baca Juga :   Permintaan LPG Meningkat 6,7% Selama Ramadan dan Idul Fitri, Pertamina Patra Niaga Pastikan Pasokan Aman

Tersangka Bertambah

Pengusutan dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di Pertamina ini menurut Kejaksaan merugikan negara sebesar Rp193,7 triliun.

Dalam konferensi pers Selasa (25/2) Kejaksaan mengumumkan tujuh tersangka dalam kasus ini. Ketujuh tersangka itu diantaranya Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan.

Tersangka lainnya adalah  SDS selaku Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping dan AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.

Sementara tersangka dari swasta adalah MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Dalam konferensi pers Rabu malam (27/2), Kejaksaan mengumumkan tambahan dua tersangka baru. Keduanya adalah MK selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga dan EC selaku VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga.

“Tersangka MK dan tersangka EC atas persetujuan tersangka RS (Riva Siahaan) melakukan pembelian RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92 sehingga menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi tidak sesuai dengan kualitas barang,” jelas Abdul Qohar.

Baca Juga :   Ekuitas Negatif dan Gagal Bayar, Jiwasraya Disebut Hadapi Masalah Fundamental

Tersangka MK, jelas Abdul Qohar, memerintahkan dan memberikan persetujuan kepada tersangka EC untuk melakukan blending produk kilang jenis RON 88 (premium) dengan RON 92 (pertamax) di terminal (storage) PT Orbit Terminal Merak milik tersangka MKAR dan tersangka GRJ atau yang dijual dengan harga RON 92.

“Hal ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan core business PT Pertamina Patra Niaga,” ujarnya.

Selain itu, peran tersangka MK dan tersangka EC adalah melakukan pembayaran impor produk kilang yang seharusnya dapat menggunakan metode term/pemilihan langsung (waktu berjangka) sehingga diperoleh harga wajar tetapi dalam pelaksanaannya menggunakan metode spot/penunjukan langsung (harga yang berlaku saat itu) sehingga PT Pertamina Patra Niaga membayar impor produk kilang dengan harga yang tinggi kepada mitra usaha/DMUT.

Tersangka MK dan tersangka EC juga mengetahui dan menyetujui adanya mark up kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh Tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping sehingga PT Pertamina Patra Niaga mengeluarkan fee sebesar 13% hingga 15% secara melawan hukum dan fee tersebut diberikan kepada Tersangka MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa dan Tersangka DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa.

Baca Juga :   Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Pertamina, PPATK: Pemufakatan Jahat hingga Mark Up Harga

Kerugian negara dalam dugaan korupsi ini sebesar sekitar Rp193,7 triliun, yang bersumber dari komponen sebagai berikut:

  1. Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp35 triliun.
  2. Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun.
  3. Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun.
  4. Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun.
  5. Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics