
Soal Kasus Korupsi Tata Kelola Minyak, BPKN Nilai Masyarakat Berhak Gugat Pertamina

Ketua BPKN Mufti Mubarok/BPKN
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menilai kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina, subholding, dan kontrak kerja sama (KKKS) berpotensi merugikan masyarakat. Jika kasus dugaan oplosan terbukti benar, maka hal itu dapat menciderai hak konsumen yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen.
Ketua BPKN Mufti Mubarok mengatakan, hak masyarakat untuk memilih barang/jasa tidak sesuai dengan nilai tukar, serta jaminan yang dijanjikan. Dalam kasus ini konsumen dijanjikan mendapat RON 92 Pertamax dengan harga yang lebih di atas RON 90 Pertalite.
Tapi, yang diperoleh masyarakat, kata Mufti, justru sebaliknya. Mengenai ini, masyarakat diduga mendapatkan informasi palsu dan menyesatkan, lantaran label Pertamax yang dibayarkan tidak sesuai dengan spesifikasi yang diterima.
Soal kerugian yang dialami konsumen, sambung Mufti, masyarakat berhak menggugat dan meminta ganti rugi kepada Pertamina, sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen. Mekanisme telah diatur dalam peraturan itu, salah satunya dengan mengajukan gugatan secara bersama atau class action.
Bahkan secara peraturan, kata Mufti, pemerintah/instansi terkait pun bisa melakukan gugatan karena adanya kerugian dan korban yang tidak sedikit. “BPKN siap membuka diri bagi konsumen yang ingin melaporkan atau berkonsultasi terkait masalah ini,” kata Mufti dalam keterangan resminya pada Rabu (26/2).
Mufti melanjutkan, pihaknya mendesak pihak berwenang untuk mengusut tuntas dan memberikan hukuman yang berat kepada pelaku. BPKN meminta Pertamina untuk bersikap transparan dalam memberikan informasi kepada konsumen.
“Kami siap memberikan pendampingan dan membantu konsumen dalam memperjuangkan hak-haknya,” kata Mufti.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengumumkan tersangka dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di Pertamina yang dinilai merugikan negara Rp 193,7 triliun. Dalam keterangan resminya pada 25 Februari lalu, penyidik Kejagung mengumumkan 7 tersangka dalam kasus ini di antaranya Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan.
Tersangka lainnya adalah SDS selaku Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping dan AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
Sementara tersangka dari swasta adalah MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Kemudian, pada 27 Februari 2025, ada tambahan 2 tersangka yakni MK selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga dan EC selaku VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga. “Tersangka MK dan tersangka EC atas persetujuan tersangka RS (Riva Siahaan) melakukan pembelian RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92 sehingga menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi tidak sesuai dengan kualitas barang,” kata Direktur Penyidikan pada Jampidsus, Kejagung Abdul Qohar.
Leave a reply
