
Saran Inventure ke Pemerintahan Prabowo, Segera Pulihkan Daya Beli Masyarakat !

Ekonom, Avialiani dan Managing Partner Inventure, Yuswohady dalam konferensi pers Indonesia Industry Outlook 2025 dengan tema Indonesia Market Outlook 2025: Kelas Menengah Hancur, Masihkah Bisnis Mantul?, Selasa (22/10).
Pemerintahan Prabowo Subianto disarankan untuk memulihkan daya beli masyarakat pada awal pemerintahannya, terutama masyarakat kelas menengah yang menjadi penopang ekonomi Indonesia.
Survei konsumen yang dilakukan Inventure mengkonfirmasi adanya pelemahan daya beli pada masyarakat kelas menengah Indonesia. Dari 450 responden yang tersebar di lima kota besar – Jabodetabek, Semarang, Surabaya, Makasar dan Medan – 49% menyatakan mengalami penurunan daya beli.
Tiga faktor utama yang membuat daya beli mereka turun adalah kenaikan harga kebutuhan pokok (85%), mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan (52%), serta pendapatan yang stagnan (45%).
Faktor lainnya, yang turut melemahkan daya beli masyarakat adalah Pemutusan Hubungan Kerja dan lapangan kerja yang terbatas (37%), meningkatnya pajak (31%), hutang yang semakin menumpuk (27%) dan kenaikan suku bunga cicilan (23%).
Yuswohady, Managing Partner Inventure mengatakan, sebelum Prabowo melangkah lebih jauh ke program-program andalannya sesuai janji kampanye, prioritas utamanya saat ini adalah memulihkan daya beli melalui kebijakan fiskalnya.
“Pemulihan daya beli ini top priority dari kabinet baru, sebelum ke mana-mana, yang muluk-muluk, yang tinggi-tinggi – hilirisasi, infrastruktur, dan lain-lain,” ujar Yuswohady dalam konferensi pers Indonesia Industry Outlook 2025 dengan tema Indonesia Market Outlook 2025: Kelas Menengah Hancur, Masihkah Bisnis Mantul?, Selasa (22/10).
Pemulihan daya beli ini, tambahnya, penting karena 50% hingga 60% ekonomi Indonesia digerakan oleh konsumsi masyarakat.
“Maka untuk bisa menggulirkan perekonomian kita, maka harus diselamatkan daya beli kelas menengah ini,” tambah Yuswohady.
Sebelumnya, sejumlah data ekonomi menunjukkan adanya sinyal pelemahan daya beli masyarakat. Dalam lima bulan beruturut-turut sejak Mei 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan deflasi.
BPS memang menyatakan deflasi terjadi karena didorong oleh suplai barang yang meningkat sehingga terjadi penurunan harga.
Tetapi, indikator lain, seperti berkurangnya jumlah kelas menengah menunjukkan adanya penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Data BPS mengungkapkan jumlah kelas menengah Indonesia pada 2024 sebanyak 47,85 juta orang, berkurang dari 57,33 juta pada 2019.
Lebih jauh, Yuswohady mengungkapan, 49% kelas menengah yang mengalami penurunan daya beli, terbagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok aspiring middle class atau calon kelas menengah baru (penghasilan Rp900 ribu-Rp2,1 juta) dan middle class (penghasilan Rp2,1 juta-Rp9,6 juta).
Sebanyak 67% responden dari kelompok aspiring middle class ini melaporkan bahwa daya beli mereka menurun, sedangkan untuk middle class hanya 47%. Artinya, aspiring middle class adalah kelompok yang paling rentan terhadap penurunan daya beli dibanding kelas middle class. Ini menunjukkan bahwa tekanan ekonomi saat ini lebih dirasakan oleh kelompok aspiring middle class dibandingkan dengan kelas middle class.
Menurut Yuswohady, untuk memperkut kelompok kelas menengah, pemerintah mesti memulihkan kembali sektor manufaktur yang kontribusinya pada perekonomian terus mengalami penurunan sejak era Presiden Soeharto, tetapi luput dari perhatian hingga era Presiden Joko Widodo.
“Padahal, daya beli kelas menengah ini terkait dengan manufaktur, karena sektor manufaktur menyerap tenaga kerja yang besar. Berbeda dengan sektor gig atau UKM [Usaha Kecil Menengah]. Makanya, terkait dengan kelas menengah ini adalah membangun sektor manufaktur,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Ekonom Aviliani, sependapat bahwa memulihkan daya beli kelas menengah harus menjadi perhatian pemerintahan baru dibawa Prabowo Subianto.
Salah satu kunci memperkuat kelompok kelas menengah, menurut Aviliani, adalah dengan mendorong UKM naik kelas dengan cara membuat kebijakan yang membuka akses UKM menjadi bagian dari rantai pasok bagi perusahaan-perusahaan besar di Indonesia.
Selain itu, Avialini juga mendorong agar sektor pertambangan menyerap lebih banyak tenaga kerja lokal. Menurutnya, kebutuhan tenaga kerja sektor pertambangan sebenarnya besar, tetapi sebagian diisi oleh tenaga kerja asing.
“Dulu ada policy terkait dengan transfer knowledge. Jadi, tenaga kerja asing itu wajib transfer knowledge kepada perusahaan di Indonesia, sehingga nanti dalam lima tahun orang-orang Indonesia bisa melakukannya. [Tetapi selama ini] itu enggak terjadi, makanya lebih banyak di tambang itu orang-orang asing dibandingkan orang Indonesia,” ujar Aviliani.
Avialini juga menyoroti pentingnya link and match antara pendidikan dan dunia kerja. Selama ini, menurutnya, pendidikan dan dunia kerja berjalan sendiri-sendiri, sehingga lulusan sekolah tidak memenuhi standar kualifikasi yang dibutuhkan dunia kerja.
“Harus ada link and match, dimana pendidikan vokasional itu harus dikembangkan,” ujarnya.
Indonesia, tambah dia, juga perlu menyasar pasar tenaga kerja terampil di negara-negara maju yang memiliki populasi yang menua (aging population). Dengan begitu, penghasilan yang diperoleh jauh lebih tinggi, ketimbang menjadi pekerja sektor rumah tangga, seperti Asisten Rumah Tangga (ART).
Leave a reply
