PT Timah Usulkan Komoditas Timah Menjadi Bahan Strategis Pertahanan Nasional

0
1030

Sebagai bagian dari upaya untuk membentuk ekosistem pertimahan nasional yang sehat, PT Timah Tbk mengusulkan agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan komoditas timah sebagai bahan strategis pertahanan nasional.

Direktur Utama PT Timah Tbk Achmad Ardianto mengatakan di dalam bijih timah terdapat sejumlah mineral ikutan yang mempunyai nilai yang sangat tinggi, terutama untuk industri pertahanan dan teknolgi tinggi (high tech) seperti monasit, thorium dan logam tanah jarang.

“Sehingga, apabila kita mampu untuk melakukan pengelolaan dengan cara yang baik, dengan menetapkan sebagai bahan strategis pertahanan nasional, tentu akan mendapatkan perhatian yang lebih baik dan pengelolaan yang juga diharapkan lebih baik,” ujar Achmad dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (21/6).

Dalam rapat tersebut, Achmad juga mengungkapkan bahwa pada masa orde baru hingga tahun 1998, timah berstatus sebagai bahan strategis nasional sehingga pengawasannya dilakukan secara khusus. Saat itu, hanya ada dua perusahaan tambang timah di Indonesia yaitu PT Timah dan PT Koba Tin.

“Setelah terjadi reformasi, setelah tahun 1998 hingga tahun 2002, timah tidak lagi menjadi bahan strategis sehingga tentu saja semua orang bisa melakukan usaha di bidang pertimahan dan juga adanya beberapa Perda yang mengizinkan adanya ekspor biji timah ke luar negeri. Ini mengakibatkan produksi biji timah meningkat karena semua orang bisa ikut berpartisipasi,”ujarnya.

Baca Juga :   Dukung Penegakan Hukum Timah, Pengamat: Masyarakat Sudah Cerdas Menilai

Kondisi ini, tambahnya, membuat Indonesia tidak bisa lagi melakukan kontrol atas pasokan dan permintaan timah global sehingga harga timah anjlok. Pemerintah Indonesia, kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.443 tahun 2002 yang melarang ekspor bijih timah. Ekspor hanya diizinkan dalam bentuk logam timah.

Setelah peraturan tersebut diterbitkan, munculah perusahaan smelter swasta sebagai respons kebijakan larangan ekspor bijih timah tersebut. Namun, kondisi ini menyebabkan PT Timah tersaingi.

“Periode tahun 1997 samapi tahun 2003, persentase produksi PT Timah [terhadap total produksi timah nasional] itu kurang lebih 70%-an. Tetapi begitu smelter swasta sudah mulai didirikan, maka bisa kita lihat mulai tahun 2004 dan seterusnya porsi PT Timah menjadi 30%,” ujar Achmad.

Dalam perjalanannya hingga tahun 2018, PT Timah mengalami kesulitan mendapatkan bijih timah. “Artinya ada bijih-bijih yang harusnya masuk ke PT Timah, tetapi ternyata tidak masuk ke PT Timah,” ujarnya.

Pemerintah dan PT Timah memperbaiki kondisi tersebut, sehingga tahun 2019 dan 2020, tingkat produksi PT Timah kembali meningkat dengan porsi mencapai 98% dari total produksi nasional. “Tetapi tahun 2021, kita kembali lagi ke 30%,” ujar Achmad.

Baca Juga :   ICDX: Harga Timah Berhasil Catat Rekor Tertinggi Memasuki Perdagangan Semester II-2021

Achmad menjelaskan dalam sistem penambangan timah selama ini, setiap pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) timah akan memiliki mitra atau mengerjakan sendiri tambangnya. Pola ini juga dilakukan oleh PT Timah. “Namun, ternyata pengalaman kami menunjukkan ada sebagian bijih yang diambil dari IUP PT Timah, tetapi tidak masuk ke PT Timah. Ini menjadi tantangan bagi kami karena kalau tidak masuk ke PT Timah kami tidak bisa memungut pajaknya, kami juga tidak bisa melakukan pembinaan kepada mitra tersebut,”ujarnya.

Adanya bijih timah dari IUP PT Timah yang tidak masuk ke PT Timah oleh mitra, juga menyebabkan kapasitas smelter PT Timah yang mencapai 50 ribu ton per tahun tidak bisa dipenuhi.

“Sebagai contoh tahun lalu saja hanya 26 ribu ton kami berhasil dari 50 ribu dan itu mengakibatkan overhead kami melonjak tinggi dan dengan harga timah yang tidak terlalu menguntungkan bagi kami, maka itu menggerus sekali performance keuangan kami dan itu membahayakan. Di tahun 2021 dan tahun 2022, kami sangat tertolong dengan adanya harga yang meningkat tinggi sekali. Namun, kita tidak pernah bisa memastikan apakah harga yang tinggi tersebut akan tetap stabil seperti itu sehingga tetap memberikan keutuntungan finansial kepada perusahaan, atau nanti akan kembali ke harga sebelumnya yaitu di angka 20 ribuan dollar per ton. Apabila harga itu terjadi, tentu itu akan menjadi tantangan yang sangat berat bagi PT Timah,” jelasnya.

Leave a reply

Iconomics