
POJK Pelindungan Konsumen, OJK; “Tidak untuk Melindungi Konsumen Nakal”

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan Keuangan (OJK), Friderica Widyasari Dewi
Suatu hari pada pekan terakhir Januari 2024, Friderica Widyasari Dewi mendapat telepon dari sebuah nomor yang tak dikenalnya. Mulanya, karena masih sibuk, Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini mengabaikan panggilan itu.
Tetapi, perempuan yang disapa Kiki ini akhirnya tergoda juga. Apalagi, ia mengatakan, nomor yang meneleponnya itu ‘nomor cantik’.
“Jadi, saya kepo juga pingin ngangkat. Ternyata dari debt collector,” cerita Kiki di hadapan wartawan dalam acara Media Briefing Peraturan OJK (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Pelindungan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan, Kamis, 1 Februari 2024.
Ternyata, lanjut Kiki, mantan sopirnya menggunakan produk salah satu Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK). Si sopir, rupanya tak bisa membayar. Kiki menduga mantan sopirnya itu mengggunakan namanya sebaga penjamin (guarantor).
“Jadi, intinya walaupun produk jasa keuangannya itu legal, tetapi kalau misalnya masyarakat menggunakannya dengan tidak bijak, misalnya besar pasak daripada tiang, akan menjadi korban juga, dan tidak hanya kena ke dia, tetapi juga orang-orang di sekitarnya,” ujar Kiki.
Suatu hari Kiki juga pernah hadir di sebuah universitas ternama di Indonesia. Saat menyampaikan sambutan, pimpinan kampus yang tak disebutkan namanya itu ‘curhat’.
“Pas sambutan rektornya bilang, ‘Bu, tolong bu, ini nomor saya sering dihubungi debt collector karena mahasiswa saya utang enggak bayar. Mungkin [nomor rektor] ada di kontaknya [mahasiswa],”cerita Kiki.
Kiki mengatakan pengalamannya dan si rektor yang dihubungi penagih utang karena ada kenalan atau orang lain yang tak membayar utang “banyak sekali” terjadi di masyarakat.
Kabar baiknya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) , yang kemudian ditindaklanjuti OJK dengan menerbitkan POJK Nomor 22 Tahun 2023 tentang Pelindungan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan pada 22 Desember 2023, sudah mengatur berbagai aspek terkait hak dan kewajiban konsumen maupun calon konsumen di sektor jasa keuangan, termasuk di perusahaan pembiayaan.
POJK 22/2023 sudah mengatur dengan rinci prosedur penagihan yang dilakukan oleh semua PUJK
yang memiliki produk kredit/pembiayaan, seperti diatur dalam pasal 60 hingga pasal 66.
OJK di tengah, tak berat ke PUJK dan tak condong ke konsumen
Namun, Kiki mengatakan sejak awal OJK didesain sebagai lembaga yang menganut internal twin-peaks. Artinya pengawasan prudential dan pengawasan market conduct menjadi satu atap. OJK memastikan pelaku usaha di sektor jasa keuangan (PUJK) menjalankan prinsip kehati-hatian secara bisnis dan sekaligus juga mengutamakan kepentingan konsumen dan masyakat.
“Kita enggak boleh terlalu berat kepada PUJK, tetapi enggak boleh terlalu condong juga ke konsumen. Harus berdiri di tengah. Karena kita harus mendorong industri jasa keuangan ini bisa maju terus, sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat. Tetapi, tidak dengan mengorbankan sisi konsumennya,” ujarnya.
Sebagai Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan Pelindungan Konsumen, Kiki mengatakan, ia menjalankan dua dari lima pilar UU P2SK yaitu pilar literasi, inklusi dan inovasi dan pilar pelindungan konsumen.
“Dalam UU P2SK ini konsumen tidak hanya dilindungi tetapi ditekankan juga bahwa mereka punya kewajiban yang harus dipenuhi ketika mereka menjadi konsumen sektor jasa keuangan,” ujarnya.
Bentuk pelindungan konsumen yang paling mendasar, tambah Kiki, adalah “memberikan edukasi kepada masyarakat”. Ketika masyarakat well-literate terhadap produk dan layanan jasa keuangan, menurut Kiki “mereka sudah terlindugi secara basic.”
Masalahnya, literasi ini masih rendah. Di sektor asuransi misalnya, masalah yang sering dialami konsumen adalah kesulitan klaim.
“Ini persoalan klasik yang setiap hari itu kita terima, aduan persoalan klaim,”ujarnya.
Kiki mengatakan, beberapa kasus, ketika ditelisik lebih dalam, “memang kadang-kadang konsumen juga melanggar.”
“Misalnya, ketika dia mengajukan polis dia tidak jujur, ternyata punya riwayat sakit dan lain-lain. Ada juga yang memang dipersulit [oleh perusahaan asuransi],” ujarnya.
Karena itu, tambah Kiki, ketika ada nasabah asuransi yang memprotes soal pembayaran klaim, OJK melihat duduk persoalannya dan menelitinya kasus per kasus.
“Jadi, OJK enggak akan gelap mata, [hanya] bantu salah satu [nasabah atau PUJK], enggak akan seperit itu. Jadi, lihat case by case,” ujarnya.
Masalah lain di sektor asuransi yang sering diadukan adalah soal premi dan isu polis yang tak diketahui dan tak dipahami oleh nasabah. Permasalahan seperti ini, ungkap Kiki, banyak terjadi di produk unit link, yang terjadi karena mis-selling oleh agen pemasar. Agen asuransi tidak menjelaskan produk secara lengkap dan akurat karena tidak memiliki pengetahuan yang memadai soal produk.
Bila memiliki literasi yang baik, maka nasabah atau konsumen bisa menginterupsi agen penjual bila salah menjelaskan produk. Kiki sendiri pernah mengalami masalah mis-selling, ketika agen asuransinya menyebut produk asuransi yang ditawarkannya sebagai tabungan, padahal produk unit link yang berpotensi terpapar risiko investasi.
“Agen asuransi saya mengatakan, ‘Bu, ini nanti tabungan ibu…’ Saya bilang, ‘Pak ini bukan tabungan lho. Ini link ke investasi. Artinya, itu bisa naik, bisa turun,” ujarnya.
Mis-selling seperti ini di kemudian hari bisa menimbulkan sengketa antara pemegang polis dan perusahaan asuransi, ketika nilai investasi produnya mengalami penurunan, di luar ekspektasi pemegang polis berdasarkan penjelasan agen.
Tak hanya di perusahaan pembiayaan dan asuransi, keluahan konsumen juga terjadi pada produk fintech atau pinjaman online dan paylater.
Selama pinjaman itu digunakan secara bijaksana, Kiki mengatakan tidak soal menggunakan produk pinjol dan paylater. Saat pengajuan, konsumen juga mesti jujur.
Kiki mengatakan ada satu kasus yang ditangani oleh OJK yang terjadi di sebuah universitas di Surakarta. Ribuan mahasiswa di kampus itu bermasalah dengan perusahaan pinjol.
Setelah ditelusuri OJK, ternyat para mahasiswa – yang belum memiliki penghasilan tetap ini – diminta memanipulasi status mereka sebagai pekerja pabrik tekstil yang terletak tak jauh dari kampus itu. Manipulasi status pekerjaan ini bertujuan agar kantor pusat perusahaan pinjol itu menyetujui pinjaman yang mereka ajukan.
“[Kejadian] seperti ini sering menimbulkan keributan di masyarakat, di media sosial, di media, ramai sekali. Ini sampai kita datangin langusung [ke kampusnya]. Kita ketemu dengan mahasiswanya, kita ketemu dengan rektoratnya dan lain-lain. Akhirnya kita berikan edukasi dan mereka memahami,” ujar Kiki.
Senada dengan yang disampaikan Kiki, Sarjito, Deputi Komisioner Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan Pelindungan Konsumen mengatakan dalam melakukan pelindungan konsumen, OJK berpedoman pada prinsip strike the right balance. Jika konsumen terlindungi dengan baik, maka industri jasa keuangan akan semakin berkembang karena besarnya kepercayaan konsumen terhadap produk dan layanan jasa keuangan.
“OJK strikes the right balance, tetap mendorong pertumbhan PUJK tetapi juga tidak lupa melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Tetapi, saya tegaskan bahwa OJK tidak akan melindungi konsumen yang nakal,” ujarnya.
Leave a reply
