
Pemerintah Sebut Banyak Distorsi Informasi Terkait Kluster Ketenagakerjaan di Undang-Undang Cipta Kerja

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto (Kiri) dan Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah dalam konferensi pers bersama sejumlah menteri lainnya, Rabu (7/10)/Iconomics
Kelima, soal pemutusan hubungan kerja (PHK). Ida membantah isu yang berkembang bahwa ketentuan persyaratan dan tata cara pemutusan hubungan kerja dipangkas. Sebaliknya, ia menegaskan hal tersebut tetap diatur sesuai UU No. 13/2003.
Undang-Undang Cipta Kerja, tambahnya, juga tetap memberikan ruang bagi serikat pekerja atau serikat buruh dalam memperjuangkan kepentingan anggotanya yang sedang mengalami proses PHK. “Kita sama sekali tidak meniadakan peran-peran serikat pekerja atau serikat buruh dalam mengadvokasi anggotanya ketika mengalami persoalan PHK dengan pengusahanya,” ujarnya.
Masih terkait PHK, undang-undang yang baru ini juga semakin mempertegas pengaturan mengenai upah proses bagi pekerja atau buruh selama PHK masih dalam proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini juga sebagaimana putusan MK pada tahun 2011.
“Ketika PHK itu masih dalam proses, maka buruh masih mendapatkan upah. Ini ditegaskan di Undang-Undang Cipta Kerja. Sekali lagi karena kami tadi mengatakan bahwa kita mengikuti putusan MK maka upah proses pun lebih ditegaskan di Undang-Undang Cipta Kerja,” ujarnya.
Kemudian, untuk memberikan jaminan sosial bagi pekerja atau buruh yang mengalami PHK, Undang-Undang Cipta Kerja juga mengatur ketentuan mengenai program jaminan kehilangan pekerjaan yang manfaatnya berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja.
Undang-undang ini, jelas Ida, lebih memberikan kepastian bahwa hak pesangon itu diterima oleh pekerja atau buruh dengan adanya skema disamping pesangon yang diberikan oleh pengusaha, yaitu pekerja mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan yang ini tidak dikenal dalam UU No. 13/2003.
Jaminan kehilangan pekerjaan manfaatnya berupa cash benefit, vocational training dan pelatihan kerja. “Ketika seseorang mengalami PHK, maka dia membutuhakan pesangon dan diberikan cash benefit. Dan yang paling penting ketika dia mengalami PHK membutuhkan skill baru maka diberikan baik skilling, upskilling maupun reskilliling,” ujarnya.
Keenam, soal sanksi pidana. Ida menegaskan bahwa tidak benar ketentuan sanksi pidana terkait ketenagakerjaan dihapus sebagaimana isu yang berkembang. “Karena ketentuan mengenai sanksi pidana ketenagakerjaan semuanya dikemabalikan seperti halnya UU No. 13/2003,” ujarnya.
Halaman BerikutnyaLeave a reply
