Pemerintah Revisi PP Pungutan oleh OJK dari PUJK, Tak Ada Perubahan Jenis Tarif

0
229

Pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah [PP] Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan [OJK]. Rancangan PP yang sedang dalam porses finalisasi ini juga mengatur soal Rencana Kerja dan Anggaran [RKA] OJK, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).

Wakil Menteri Keuangan,  Suahasil Nazara mengatakan Rancangan Peraturan Pemerintah [RPP] RKA dan Pungutan itu sudah hampir selesai. 

“Saat ini praktis seluruh prinsipnya sudah selesai, tinggal menunggu proses administrasi dari penandatanganannya saja,” ujar Suhasil, yang juga sebagai Anggota Dewan Komisioner OJK Ex-Officio Kementerian Keuangan, dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (26/6).

Suhasil berkata, RPP ini berisi ketentuan soal RKA OJK sekaligus mengatur Pungutan dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan [PUJK], yang saat ini diatur dalam PP Nomor 11 tahun 2014.

“Hasil pembahasan sampai dengan 25 Juni, kita tetap mengikuti tarif-tarif sesuai PP 11/2014,” ujarnya terkait Pungutan dari PUJK.

Berdasarkan PP 11/2014, jenis pungutan yang berlaku pada OJK meliputi: (a) biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan penelaahan atas rencana aksi korporasi; dan (b) biaya tahunan dalam rangka pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penelitian.

“Kita juga memiliki konstruksi tarif turun atau Rp0 untuk tujuan pengembangan sektor jasa keuangan khususnya industri syariah dan juga pelaku profesi di sektor jasa keuangan, dan untuk perizinan dan kepada lembaga keuangan mikro.  Jadi, ini konstruksinya menjadi detil, tetapi konstruksi tarifnya seperti PP 11/2014 dan tarif turun tetap kita pertahankan untuk beberapa nosion,” ujarnya.

Baca Juga :   Nasabah Kresna Life Minta Perhatian dari Pemerintah dan OJK Atas Nasib Mereka

Anggaran OJK jadi bagian BA BUN

Suhasil mengatakan, Rencana Kerja dan Anggaran [RKA] OJK dalam RPP ini mengacu pada ketentuan dalam UU P2SK.

Sesuai UU P2SK, Dewan Komisioner menyusun rencana kerja dan anggaran OJK. Anggaran OJK menjadi bagian dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara [BA BUN] pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Anggaran tersebut dibahas OJK bersama DPR. Selanjutnya, hasil pembahasan tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk menjadi bahan penyusunan Rancangan Undang-Undang mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.  

Berdasarkan, konsultasi Kementerian Keuangan dengan Komisi XI DPR RI pada 8 November 2023 terkait dengan penyusunan RPP ini, Pungutan dari PUJK masuk ke dalam penerimaan negara bukan pajak yang diserahkelolakan kepada OJK melalui mekanisme mitra instansi pengelola PNBP yang ada di dalam APBN. Suhasil menjelaskan, ‘ada di dalam APBN’ artinya diakui oleh APBN, tetapi tidak masuk dalam postur APBN.

Karena sudah ada di dalam APBN, selain memperoleh Penerimaan dari Pungutan, OJK juga bisa memperoleh penerimaan dari Rupiah Murni.

Namun, sesuai rapat konsultasi dengan Komisi XI,  penggunaan Rupiah Murni diprioritaskan untuk membiayai pengembangan atau pengadaan aset.

“Apabila diperlukan selain pengembangan, maka akan diatur melalui persetujuan Menteri Keuangan,” ujar Suhasil.

“Dengan demikian, prinsip utama penerimaan OJK adalah penerimaan Pungutan kepada sektor jasa keuangan, sementara Rupiah Murni adalah untuk prioritas yang lain,”tambahnya. 

Meski anggaran OJK masuk ke dalam BA BUN, Suhasil menegaskan, OJK tetap menjadi lembaga yang independen terhadap pemerintah.

“Ketika kami merumuskan mitra instansi pengelola yang ada di dalam UU PNBP, ini tentu harus kita setel, sehingga dia [OJK] tetap menjaga independensi dan tidak membuat OJK menjadi dependent terhadap pemerintah. Anggarannya disebut di dalam nota keuangan tetapi bukan dependent terhadap pemerintah,” ujar Suhasil.

Baca Juga :   Resmi Menjabat, Ini Komitmen DK OJK Periode 2022-2027

Tahun 2025 masa transisi

Anggaran OJK tahun 2025, yang saat ini sedang dibahas dengan Komisi XI DPR RI, merupakan masa transisi dari siklus anggaran ketentuan lama, ke siklus anggaran di bawah UU P2SK.

Karena itu, Suhasil mengatakan, anggaran OJK untuk tahun 2025, memiliki dua sumber yaitu dari Pungutan yang dikumpulkan tahun 2024 ini dan Pungutan tahun berjalan 2025.

Namun, untuk selanjutnya pada tahun 2026, anggaran OJK terutama bersumber dari Pungutan tahun berjalan.

Di dalam RPP, jelas Suhasil, diatur bahwa Pungutan dan penerimaan lainnya yang tidak digunakan sampai akhir tahun anggaran, dapat digunakan pada tahun anggarn berikutnya (T+1).  Dalam hal masih terdapat sisa di tahun T+1 tersebut, maka bisa digunakan di T+2. 

“Dalam hal masih tidak terpakai lagi [pada T+2], maka baru disetor ke kas negara,” ujarnya.

Penggunaan hingga T+2 ini, kata dia, untuk memberikan  fleksibilitas kepada OJK untuk memakai anggaran yang berasal dari Pungutan dari PUJK.

“RPP juga akan mengatur bahwa aset hasil pengadaan barang milik OJK dengan menggunakan anggaran OJK, maka aset tersebut menjadi barang milik OJK. Jadi, bukan lagi menjadi barang milik negara,” ujarnya.

Berapa anggaran OJK 2025?

Mirza Adityaswara, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, dalam paparannya pada rapat kerja di Komisi XI ini, mengungkapkan, sebagai masa transisi, penerimaan OJK pada 2025 bersumber dari Pengutan 2024 sebesar Rp8,07 triliun dan Pungutan tahun 2025 sebesar Rp8,52 triliun.

Baca Juga :   OJK Beberkan Perkembangan Merger dan Akuisisi Beberapa Bank di Indonesia

“Sehingga untuk RKA 2025, total penerimaan OJK adalah Rp16,6 triliun,” ujarnya.

Dari sisi penggunana, tahun 2025 OJK menganggarkan pengeluaran sebesar Rp13,22 triliun. 

Rinciannya:

  • Pengawasan sektor perbankan itu Rp1,75 triliun
  • Pengawasan sektor pasar modal, keuangan derivatif dan bursa karbon Rp983,6 miliar
  • Pengawasan sektor perasuransian, penjaminan dan dana pensiun Rp589,9 miliar
  • Pengawasan sektor lembaga pembiayaan, modal ventura, lembaga keuangan mikro dan lainnya Rp445,2 miliar
  • Pengawasan sektor inovasi teknologi sektor keuangan, aset keuangan digital dan aset kripto Rp145,4 miliar
  • Pengawasan perilaku pelaku usaha jasa keuangan, edukasi, dan pelindungan konsumen Rp501,2 miliar
  • Audit internal dan manajemen risiko Rp249 miliar
  • Bidang kebijakan strategis yang membawahi kantor OJK di daerah sebesar Rp2,32 triliun. Rinciannya: untuk OJK Pusat Rp486,4 miliar dan kantor OJK daerah Rp1,84 triliun.
  • Manajemen strategis (10 satker termasuk untuk IT, pembangunan gedung) Rp6,2 triliun. 

Sisa Penerimaan 2025 sebesar sekitar Rp3,38 triliun [Rp16,6 triliun dikurangi Rp13,22 triliun] akan digunakan pada 2026. 

“Untuk tahun 2026, triwulan I itu belum ada penerimaan. Penerimaan di triwulan I 2026 itu baru diterima di bulan April, sehingga kami harus punya cadangan untuk membiayai kegiatan triwulan I 2026,” ujar Mirza.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics