
Pemahaman Rendah, Industri Dana Pensiun Indonesia Suram Tak Berkembang

Ketua Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI)
Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) menyatakan industri dana pensiun di Indonesia tidak berkembang. Bahkan meski sejak 2015 lalu sudah ada program wajib melalui BPJS Ketenagkerjaan. Pemahaman masyarakat yang masih rendah membuat industri ini tidak berkembang.
“Pemahaman orang tentang dana pensiun ini ternyata tidak sebaik yang kita harapkan,” ujar Suheri, Ketua Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) dalam webinar Prospek Pertumbuhan Industri Keuangan Non Bank & Strategi Investasi di Tahun 2022, Rabu (23/2).
Suheri mengambil contoh isu aktual saat ini terkait polemik pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan. Respons penolakan masyarakat atas kebijakan pencairan JHT pada usia 56 tahun menggambarkan masih minimnya pemahaman masyarakat akan JHT.
“JHT itu, dari definisinya saja Jaminan Hari Tua. Jaminan supaya di hari tua nanti kita mendapatkan suatu jaminan penghasilan. Namun kenyataannya begitu diminta diambil pada usia 56 tahun, responsnya luar biasa. Karena harapannya adalah begitu berhenti bekerja itu bisa diambil uangnya. Artinya itu bukan jaminan pensiun. Itu jaminan berhenti bekerja atau jaminan tidak bekerja lagi,yang sebenarnya pemeirntah sudah membuat dana untuk itu saat ini,” ujar Suheri.
Suheri mengatakan karena kurangnya pemahaman terkait jaminan hari tua, industri dana pensiun di Indonesia pun sulit berkembang. Padahal sebenarnya industri dana pensiun ini memiliki potensi yang besar bila melihat demografi Indonesia saat ini.
Suheri memaparkan penduduk usia kerja di Indonesia berjumlah 199,38 juta dari total penduduk 271,35 juta. Total pekerja dari penduduk usia kerja tersebut sebanyak 131,03 juta. Dari total jumlah pekerja itu, jumlah pekerja sektor formal sekitar 57 juta, sementara pekerja sektor informal berjumlah 74 juta dan penganggur berjumlah 6,88 juta.
Dari total jumalah pekerja tersebut, berdasarkan data tahun 2020, pekerja yang memiliki dana pensiun hanya sekitar 20 juta. Jumlah ini terdiri dari peserta Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan sekitar 16 juta. Kemudian,
Dana Pensiun Pemberi Kerja Manfat Pasti (DPPK-MP) sebanyak 927.567 orang, DPPK Iuran Pasti (DPPK-IP) sebanyak 394.204 orang dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) sebanyak 3.023.967 orang.
“Jadi sangat sedikit sekali yang memiliki dana pensiun. Akibatnya adalah aset dari dana pensiun itu juga enggak besar,”ujarnya.
Jumlah aset BPJS Ketenagkerjaan yang merupakan program wajib sebesar Rp80 triliun. Kemudian, jumlah aset DPPK-MP sebesar Rp 167 triliun, DPPK IP sebesar Rp37 triliun dan DPLK Rp107 triliun.
“Jadi jumlahnya itu sangat sedikit. Kalau tadi dikatakan Dana Pensiun itu hanya 0,6% dari PDB ya memang kenyataannya seperti itu dan inilah yang jadi tantangan kita,” ujarnya.
Masalahnya tak berhenti di sini. Kesadaran yang rendah akan jaminan hari tua tak hanya berimplikasi pada tidak berkembangnya industri dana pensiun. Tetapi, masyarakat Indonesia juga tidak memiliki jaminan hari tua yang memadai.
Suheri mengatakan jumlah penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia pada tahun 2017 sebanyak 24 juta orang. Diperkirakan pada tahun 2045 jumlahnya menjadi 45 juta orang. “Artinya, tahun 2035 ada 45 juta lansia kita yang mungkin akan kesulitan punya keuangan karena enggak punya dana pensiun,” ujarnya.
“Aumsinya yang punya dana pensiun katakanlah 10% saja, mungkin hanya 4,5 juta nanti yang punya dana pensun di sana. Ini tantangan yang kita hadapi terkait dengan dana pensiun ini,” tambahnya.
Leave a reply
