OJK Ungkap Tren Nilai Transaksi Aset Kripto di Indonesia Menurun, Apa Penyebabnya?

1
202

Otoritasa Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan tren nilai transaksi aset kripto di Indonesia pada tahun ini menurun, meski jumlah pengguna terus meningkat.

Hasan Fawzi, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto OJK mengatakan jumlah pelanggan terdaftar aset kripto masih dalam tren meningkat, sementara nilai transaksi aset kripto mengalami tren penurunan.

“Per September 2023, nilai transaksi aset kripto di Indonesia tercatat sebesar Rp94,4 triliun dengan jumlah pelanggan terdaftar aset kripto berjumlah 17,91 juta,” ujar Hasan dalam konferensi pers, Senin (30/10).

Seperti diketahui, pengaturan dan pengawasan aset kripto saat ini masih berada di bawah Bappebti, lembaga di bawah Kementerian Perdagangan.

Namun, sesuai Undang-Undang Nomor.4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), pengaturan dan pengawasan aset kripto akan beralih ke OJK. Peralihan secara resmi dilakukan pada Januari 2025.

Sebelumnya, Robby Bun, Ketua Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) mengatakan transaksi kripto di Indonesia – setelah mencapai puncaknya pada tahun 2021 – terus mengalami penurunan. Selain memang karena pasar yang bearish, penurunan nilai transaksi ini, disinyalir juga karena dampak pajak kripto.

Baca Juga :   Dari Sekitar Rp900 Triliun Kredit yang Direstrukturisasi, OJK: Sekarang Sudah Turun

Robby mengungkapkan tahun 2021, nilai transaksi kripto di Indonesia mencapai sekitar Rp800 triliun. Tahun 2022 turun menjadi sekitar Rp300 triliun.

“Di 2023 Rp100 triliun pun belum nyampe,” ujar Robby beberapa waktu lalu.

Robby – yang juga merupakan Chief Operating Officer (COO) Reku – khawatir transaksi aset kripto di Indonesia akan semakin menurun seiring dengan bertambahnya beban biaya transaksi. Selain pajak, setelah meluncurkan bursa kripto pada akhir Juli lalu, juga akan ada biaya  untuk Self Regulatory Organization (SRO) yaitu bursa, kliring dan lembaga penyimpanan aset (depository).

Menurut Robby, biaya transaksi untuk SRO disepakti sebesar 2 bps atau 0,02% bila nanti pedagang fisik aset kripto sudah resmi menjadi anggota bursa dan terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Babppebti).

“Dengan biaya sekarang ini saja, capital outflow itu besar-besaran keluar,” ujarnya.

Menurut Robby, investor/trader kripto Indonesia lebih nyaman bertransaksi di luar negeri, ketimbang pada platform milik pedagang yang terdaftar di Indonesia. Menurutnya, jumlah investor/trader kripto asal Indonesia yang bertransaksi di plaform global mencapai sekitar 4,6 juta investor/trader.

Baca Juga :   OJK Resmikan KUR Bohosami Bakobong Kluster Pertanian Sereh Wangi Di Kabupaten Minahasa

Mirisnya, nilai transaksi yang dilakukan investor/trader asal Indonesia ini di platform global rata-rata mencapai Rp750an juta. Sementara rata-rata nilai transaksi yang dilakukan oleh investor/trader di dalam negeri hanya Rp17an juta per investor/trader.

Perbedaan nilai transaksi di dalam negeri dan luar negeri oleh investor asal Indonesia yang “jomplang” ini menurut Robby terjadi karena biaya transaksi yang tinggi di Indonesia.

“Biaya kita besar, pedagang ilegal masih bebas. Tax masih tinggi. Bagaimana cara agar inflow itu bisa terjadi lagi? Mesti ada penyesuain kembali terhadap pajak, dan penindakan terhadap pedagang ilegal,” ujarnya.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

1 comment

Leave a reply

Iconomics