
Mulai Juni 2023, Transaksi Ekspor CPO Harus Dilakukan Melalui Bursa Berjangka

Didid Noordiatmoko, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Kementerian Perdagangan
Pemerintah mulai menata ulang tata niaga perdagangan Crude Palm Oil (CPO) serta turunannya di Indonesia. Upaya itu dilakukan dengan mewajibkan perdagangan CPO ini dilakukan melalui Bursa Berjangka, termasuk untuk mendapatkan izin ekspor.
“Fokus utamanya adalah kita akan menyempurnakan atau memperbaiki lagi tata kelola CPO kita, tata kelola sawit kita. Dengan tata kelola yang lebih baik, maka kita akan memperoleh transparansi tata kelola perdagangan dari CPO. Arah kami kira-kira ke sana,” ujar Didid Noordiatmoko, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Kementerian Perdagangan dalam seminar ‘Strategi Indonesia Menjadi Barometer Harga Sawit Dunia’ yang digelar Majalah Sawit Indonesia di Jakarta, Kamis (2/3).
Selama ini, meski Indonesia merupakan penghasil CPO terbesar di dunia, tetapi harga referensi CPO justru merujuk Bursa Rotterdam di Belanda dan MDEX di Malaysia. Karena itulah, Indoneisa harus mengembangkan Bursa Berjangka CPO sendiri.
Saat ini, di Indonesia sudah ada dua bursa berjangka yaitu Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) dan Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI atau ICDX. Selain itu, Indonesia juga sudah mempunyai Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN), yang walaupun belum memiliki izin sebagai Bursa Berjangka, tetapi selama ini sudah menjadi rujukan pembentukan harga CPO Indonesia.
Didid mengatakan Kementerian Perdagangan yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin ekspor CPO, akan mewajibkan ekspor CPO melalui Bursa Berjangka. “Jadi, kira-kira nanti kebijakannya adalah setiap penerbitan izin ekspor CPO dan turunannya harus dipastikan bahwa CPO-nya itu diperoleh dari Bursa. Jadi, yang akan masuk ke Bursa adalah CPO-nya. Namun, izin ekspor untuk CPO maupun turunan CPO-nya itu harus dipastikan CPO-nya diperoleh dari pasar Bursa atau dari Bursa Berjangka. Ini yang menjadi kebijakan besar kami,” ujar Didid.
Ia mengatakan pihaknya ingin agar rencana ini secepatnya diimplementasikan. Namun, hingga saat ini kebijakannya sendiri belum ditetapkan. “Karena kami juga masih bicara dengan berbagai stakeholder, untuk membuat kebijakan yang paling tepat. Mungkin belum ideal betul, tetapi kira-kira yang paling tepat saat ini. Ke depan, akan kita perbaiki enggak masalah,” ujarnya.
Setidaknya ada beberapa manfaat bila rencana memasukan CPO ke Bursa Berjangka ini diimplementasikan. Pertama, menurut Didid, tata kelola CPO akan lebih terang, termasuk transaksi perdagangannya menjadi lebih terang. “Karena nanti kita akan wajibkan Bursa mencatat semua transaksi CPO,” ujarnya.
Manfaat lainnya adalah akan memudahkan pemerintah dalam membuat kebijakan, karena informasi dan data terkait persawitan ini lebih jelas.
“Kemudian karena lebih jelas, maka unsur-unsur penerimaan negara ini juga akan menjadi lebih jelas. Apakah yang sekarang ini lebih rendah atau malah lebih tinggi. Tentu ini akan menjadi lebih jelas lagi karena akan lebih transapran,” ujarnya.
Lantas seperti apa gambaran mekansime perdagangannya? Didid menjelaskan lembaga bursa ini akan terdiri atas Bursa Berjangka dan Kliring Berjangka. Penjual dan pembeli CPO akan bertemu di Bursa. “Ketika di Bursa, kita tidak mengenal transaksi bilateral B-to-B, tetapi ini akan menjadi transaksi yang multilateral. Artinya, banyak pembeli akan bertemu dengan banyak penjual,” ujarnya.
Baik penjual maupun pembeli akan terdafatar di Bursa. Setelah transaksi jual beli dilakukan, Bursa akan menerbitkan elektronik hak ekspor. Berdasarkan elektronik hak ekspor itu, ekspor bisa dilakukan. Penyerahan barang dilakukan di Tangki Pembeli yang menjadi semacam Kustodian di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ketika barang atau CPO-nya sudah di Tangki Pembeli, maka ada dua kemungkinan, yaitu CPO-nya langsung diekspor atau diolah dulu menjadi produk turunan. Bila kemudian porduk turunannya akan diekspor, maka tidak perlu lagi melalui Bursa, tetap sudah bisa langsung diekspor. Tetapi, Didid menegaskan CPO untuk membuat produk turunan itu harus dipastikan diperoleh melalui Bursa.
“Kami menargetkan mekanisme ini, skema ini akan efektif mulai bulan Juni tahun ini. Walaupun price discovery-nya mungkin akan muncul setelah satu atau dua bulan setelah ini diterapkan. Harapannya akhir tahun ini kita sudah memiliki price reference untuk CPO. Namun, untuk mencapai price reference itu kita harus pastikan CPO itu masuk Bursa di bulan Juni. Ketika bulan Juni masuk Bursa, harapannya menjelang akhir tahun price reference akan terbentuk dengan sendirinya,” jelas Didid.
Leave a reply
