
Masih Banyak yang Ngendap di Luar Negeri, Begini Jurus Bank Indonesia Memulangkan Devisa Hasil Ekspor

Destry Damayanti, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia
Tahun 2022 lalu, nilai ekspor Indonesia mencapai US$291 miliar, dengan surplus neraca perdagangan hampir mencapai US$55 miliar. Harusnya dengan tingginya ekspor ini, pasokan valuta asing (valas) di dalam negeri, terutama Dollar Amerika Serikat, pun berlimpah, sehingga nilai tukar Rupiah lebih tangguh. Tetapi, sebaliknya yang terjadi pada tahun 2022 lalu, Rupiah babak belur ketika Dollar AS menguat akibat naiknya suku bunga di Amerika Serikat.
Destry Damayanti, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia mengatakan sejak awal Desember 2022 Bank Indonesia terus berkoordinasi dengan pemerintah soal pasokan Dollar di dalam negeri yang kurang di saat nilai ekspor tinggi ini. Sebagai institusi yang menjaga stabilitas Rupiah, ada concern dari Bank Indonesia untuk menjaga pasokan valas.
“Pada saat itu ada rasa, kenapa ya dana itu (hasil ekspor) kok enggak masuk di perbankan kita? Ternyata, di periode dimana Dollar mengalami penguatan yang kuat, semua negara itu membutuhkan Dollar, sehingga terjadi persaingan suku bunga antarnegara, bukan hanya antarbank tetapi antarnegara,” ujar Destry dalam konferensi pers, Kamis (19/1).
Karena itulah pada 20 Desember 2022 yang lalu, Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia yan baru dimana Bank Indonesia meluncurkan instrumen operasi moneter valas yang baru dalam bentuk term doposit valas. Dalam instrumen yang baru ini, para eskportir Sumber Daya Alam (SDA) bisa menyimpan Dana Hasil Ekspor (DHE) di bank dalam negeri. Kemudian, Bank dalam negeri yang ditunjuk sebagai agen akan meneruskannya (pass on) ke Bank Indonesia.
Destry mengatakan ada sekitar 10 bank di dalam negeri yang memiliki eksposur yang tinggi dengan nasabah eksportir. Dalam operasionalnya, Bank Indonesia melakukan perjanjian dengan masing-masing bank yang menjadi agen ini. Pada tahap awal, sesuai dengan PBI yang terbit Desember 2022 itu, tenor penyimpanan Dana Hasil Ekspor di Bank Indonesia adalah 1 bulan dan 3 bulan. Dan sejauh ini, masih fokus pada Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (SDA), sesuai Peraturan Pemerintah No.1 tahun 2019. Karena pemerintah ada rencana merevisi PP ini dengan memperluas cakupan sektornya, kedepan Bank Indonesia juga tentu akan memperluas ke sektor non SDA.
Dari sektor SDA saja ungkap Destry,ada sekitar 200 perusahaan yang memiliki potensi hasil ekspor yang besar.
Di tengah persaingan suku bunga valas antarnegara, tentu tidak mudah untuk membawa pulang Devisa Hasil Ekspor ini. Karena itu, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan dalam PBI yang terbit Desember 2022 lalu itu, Bank Indonesia memberikan suku bunga yang kompetifif dengan di luar negeri.
“Tidak hanya suku bunganya yang kompetitif, tetapi kami juga berikan insentif kepada perbankan,” ujar Perry.
Insentif yang diberikan antara lain, bank yang meneruskan (pass on) devisa hasil ekspor ke Bank Indonesia, dananya itu tidak dimasukan dalam kategori Dana Pihak Ketiga (DPK). “Karena itu dikecualikan dari kewajiban reserve requirement (Giro Wajib Minimum),” ujar Perry.
Insentif lainnya, tambah Perry, bank yang menjadi agen tadi memperoleh fee. Tidak dijelaskan berapa nilai fee yang diberikan, tetapi Perry mengatakan hal itu akan menambah daya tarik.
“Selain insentif dari BI yang berupa suku bunga yang menarik, fee bagi perbankan, maupun juga pengecualian dari Giro Wajib Minimum, kami juga berkoordinasi dengan OJK. OJK pun juga sudah mengkonfirmasi ini tidak termasuk komponen DPK. Demikian juga dengan LPS, tidak dimasukan ke sana,” ujarnya.
Selain itu, juga ada keringanan pajak. Karena itu, Bank Indonesia juga berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.”Karena DHE SDA yang masuk ke rekening khusus ini juga dapat insentif pajak. Berupa pajak yang lebih rendah,” ujar Perry.
Leave a reply
