Tantangan Industri Kesehatan untuk Mencetak Cuan

0
993

Bisnis di sektor kesehatan menjadi primadona selama masa pandemi Covid-19 serta era pasca pandemi. Namun tidak semudah itu meraup cuan besar bagi para pelaku industri ini.

Direktur Utama Rumah Sakit Premier Bintaro dr. Martha M.L. Siahaan M.A.R.S. M.H.KES. mengungkapkan bahwa bisnis rumah sakit merupakan bisnis yang lebih banyak risikonya daripada revenue.

“Industri ini sangat rentan tuntutan pasien. Juga sangat padat sumber daya manusia karena tidak pernah berhenti satu detik pun, jadi jumlah SDM-nya bisa tiga kali dari industri biasa. Selain itu juga padat teknologi,” kata dr. Martha dalam keterangan resmi.

Ia juga bercerita Rumah Sakit Premier Bintaro pekan lalu baru saja menginstalasi robot asal Amerika Serikat dengan teknologi terbaru seharga Rp69 miliar. Robotic Spin Surgery Navigation Platform yang dinamakan ‘Robbin’ ini fungsinya meningkatkan keamanan pasien dalam menjalani operasi tulang belakang dengan tingkat akurasi penempatan screws (implan) mencapai 99,9%.

“Saya ngotot harus mendatangkan alat ini supaya masyarakat kita tidak perlu lagi ke luar negeri, Eropa atau Amerika karena di Indonesia sudah ada. Bahkan Robbin ini merupakan robot pertama di Asia Tenggara,” kata dr. Martha.

Industri kesehatan di Indonesia juga menghadapi tantangan, khususnya alat kesehatan (alkes). Industri alkes dalam negeri terus digempur banyak produk impor. Bayangkan saja, produsen yang memproduksi alkes di negeri ini hanya 727 pabrik, dengan 4.265 distributor alat kesehatan. Izin produk lokal pun baru mencapai 11.734. Angka ini jauh lebih kecil dari 52.721 izin produk impor.

Baca Juga :   Prodia akan Bagikan Dividen Tunai Senilai 60% dari Laba Bersih Tahun 2021

Alhasil, pasar alkes Indonesia tidak bisa berbuat banyak, hanya menguasai 0,7% dari pasar global, kalah jauh dari Amerika Serikat yang menguasai 38,2%, kemudian China yang menguasai 19,9%, hingga India 2,16%.

“Impor kita untuk alkes mencapai Rp40 triliun. Namun industri alkes bisa ekspor Rp16 triliun, jadi defisit Rp23 triliun. Impor lebih besar dari ekspor. Setelah adanya teguran Presiden, kini kita baru tersadar. Arahan Presiden tersebut menyadarkan banyak pihak untuk menggenjot produksi alkes dalam negeri,” kata Sekjen Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (ASPAKI), Dr. Cristina Sandjaja M.Kes, M.M.

Direktur Prodia Diagnostic Line ini menilai ada harapan ketergantungan impor alkes Indonesia bisa berkurang. Apalagi masing-masing industri terus melakukan inovasi agar produknya bisa terasa bermanfaat bagi masyarakat luas. Christina pun melakukan langkah serupa, yakni membuat industri Reagensia.

“Ketika sedang studi S3, saya diminta owner-founder Prodia untuk buat suatu industri Reagen. Kalau datang ke Prodia lab, saat akan diperiksa gula darah dan kolesterol, darah Anda diambil, terpisah serum dan selnya. Kemudian serumnya diambil, dimasukkan ke dalam satu instrumen lab, dicampur dengan Reagen, maka dapat diketahui gula darahnya misal 108mg/dl. Yang Prodia Diagnostik Line buat adalah reagensia, pereaksi kimia,” kata Dr. Cristina.

Baca Juga :   RUPST Digelar Kimia Farma, Ada Pergantian Komisaris dan Direksi

Adapun tantangan industri farmasi juga masih berkutat pada tantangan bahan baku. Data dari Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) mengungkapkan bahwa penguasaan investasi dari dalam negeri lebih besar. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menguasai 75% pasar farmasi Indonesia, sedangkan Penanaman Modal Asing (PMA) hanya 25%. Kondisi ini berbeda dengan negara lain seperti Filipina di mana PMDN berkisar di angka 25% sementara PMA mencapai 75%.

Meski investasi atau modal dari dalam negeri lebih kuat, lain halnya dengan sumber bahan baku. Untuk memproduksi obat di RI, pabrikan masih harus mencari sumber bahan baku dari negara lain, utamanya China.

“Farmasi dibuat di Indonesia tapi 95% bahan baku masih impor. Jadi kejadian waktu pandemi, China, India lockdown kita kesulitan, butuh perjuangan luar biasa. Saya juga datang sendiri ke sana untuk mencari Chloroquine, biasanya pengiriman India ke Indonesia cuma beberapa hari, kemarin harus melewati beberapa negara jadi lebih lama,” kata Direktur Utama PT Dexa Medica Herry Sutanto M.M.

Ketika sudah dalam bentuk produk jadi, nyatanya produk obat-obatan Indonesia bisa berbicara banyak. Herry juga sudah membawa Dexa mengekspor produk seperti Stimuno ke berbagai negara, mulai dari Asia Tenggara seperti Kamboja-Filipina, negara Afrika seperti Nigeria hingga benua Eropa. “Kita jadi salah satu produsen obat generik terbesar di Indonesia yang mensuplai ke JKN, suplier paling banyak produknya ke JKN juga Dexa Group. Kita juga ekspor ke mancanegara produk obat-obatan kita baik kimia maupun herbal,” kata Herry.

Baca Juga :   Jawab Kompleksitas Kebutuhan Medis, Eka Hospital Sediakan Klinik Imunologi, Autoimun dan Vaksin

Anggaran kesehatan menjadi sorotan Dekan Sekolah Bisnis dan Ekonomi Universitas Prasetiya Mulya Fathony Rahman, DBA. Ia menyoroti minimnya anggaran kesehatan tahun 2023, mencapai 5,9% dari total RAPBN atau Rp731.266 per orang/tahun. Padahal WHO menetapkan standar anggaran kesehatan sebesar 15% dari APBN.

“Jika penduduk berusia produktif yang besar ini penyakitan dan banyak mengalami stunting, misalnya, maka Indonesia tidak bisa bersaing dengan negara-negara lain,” ujarnya.

Fathony pun mendorong agar para pelaku industri, termasuk tenaga kesehatan harus mampu menggunakan marketing untuk mengedukasi masyarakat dalam membangun awareness tentang pentingnya menjaga kesehatan.

“Dan pemerintah juga perlu menyadari bahwa pemasaran dalam industri rumah sakit bukan hal yang tabu. Karena pemasaran bukan selling. Rumah sakit yang punya alat-alat yang mahal dan berteknologi tinggi tentu akan kesulitan mencapai break even point kalau tidak diumumkan kepada publik,” kata Fathony.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics