Mantan Dewas KPK: Meski Kerugian BUMN Bukan Kerugian Negara, Direksi dan Komisaris BUMN Masih Bisa Dijerat UU Tipikor

0
176

Meski kerugian BUMN bukan lagi termasuk kerugian negara, tetapi ternyata masih ada celah bagi Aparat Penegak Hukum (APH) negeri ini untuk menjerat pengurus BUMN dengan tindak pidana korupsi (Tipikor).

Celah kerugian BUMN sebagai kerugian negara memang dihilangkan dalam undang-undang yang baru direvisi oleh DPR dan pemerintah pada awal Februari 2025 ini. 

Tetapi, pasal 9F Undang-Undang yang resmi bernama Undang-Undang Nomor 1 tahun 2025 itu menjadi pintu masuk bagi APH untuk menjerat pengurus BUMN dengan ketentuan lain di dalam undang-undang Tipikor di luar ketentuan soal kerugian negara. Ancaman penjaranya bahkan lebih berat.

Albertina Ho, mantan anggota dewan pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan pegawai Badan Usaha Milik Negara, termasuk direksi, komisaris dan pengawas masih bisa dijerat dengan Tipikor, meski revisi undang-undang BUMN menyatakan bahwa kerugian BUMN bukan merupakan kerugian negara.

Pasal 4B Undang-Undang Nomor 1 tahun 2025 tentang perubahan ketiga atas undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN menyatakan “Keuntungan atau kerugian yang dialami BUMN merupakan keuntungan atau kerugian BUMN.”

Pada bagian penjelasan pasal tersebut ditegaskan:

“Modal dan kekayaan BUMN merupakan milik BUMN dan setiap keuntungan atau kerugian yang dialami oleh BUMN bukan merupakan keuntungan atau kerugian negara. Keuntungan atau kerugian BUMN termasuk tetapi tidak terbatas pada keuntungan atau kerugian BUMN yang timbul dari pengelolaan sebog;ran atau seluruh aset kekayaan BUMN dalam kegiatan investasi dan/ atau operasional BUMN bersangkutan.”

Menurut Albertina, yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Banten, bila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, setidaknya ada dua perubahan krusial dalam UU No.1/2025.

Pertama, kekayaan BUMN adalah kekayaan BUMN, bukan lagi kekayaan negara. Jadi, dia memisahkan dengan jelas harta kekayaannya BUMN dengan kekayaan negara.

“Jadi, kalau harta negara sudah masuk ke BUMN dan menjadi kekayaan BUMN, tidak lagi menjadi kekayaan negara,” ujarnya dalam wawancara dengan Theiconomics.com, Kamis (20/3).

Baca Juga :   Sesuai Mandat UU, Presiden yang Susun Struktur Organisasi BPI Danantara

Poin kedua, adalah kerugian yang diderita oleh BUMN, bukan termasuk kerugian yang diderita oleh negara. Keuntungan maupun kerugian yang diderita oleh BUMN, bukan menjadi keuntungan atapun kerugian negara.

Namun, menurut dia, poin lain dalam UU No.1/2025 tetap menuntut adanya pertanggungjawaban hukum kepada direksi, komisaris dan dewan pengawas, yaitu melalui pasal 9F.

Pasal 9F ayat (1) menyatakan:

Anggota Direksi tidak dapat dimintai pertanggungiawaban hukum atas kerugian jika dapat membuktikan:

a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan tujuan BUMN;

c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

c. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Sementara pasal 9F ayat (2) meyatakan:

Anggota Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas BUMN tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian jika dapat membuktikan:

a. telah melakukan pengawasan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan BUMN dan sesuai dengan tujuan BUMN;

b. tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan Direksi yang mengakibatkan kerugian; dan

c. telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Menurut Albertina poin-poin dalam pasal 9F ini bersifat kumulatif. 

“Nanti, satu poin saja tidak dipenuhi, direksi atau komisaris BUMN itu bisa dipertanggungjawabkan secara hukum,” ujarnya.

“Dengan saya melihat itu, berarti, direksi dan komisaris atau dewan pengawas BUMN, itu tetap bisa dipertanggungjawabkan secara hukum dan bisa dikenakan tindak pidana korupsi,” ujarnya.

Lantas, dimana link antar pasal 9F UU No.1/2025 dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo, Nomor 20 Tahun 2001?

Baca Juga :   Benarkah Pengurus BUMN Tak Bisa Lagi Dijerat Undang-Undang Tipikor?

Menurut Albertina, UU No.1/2025 memang menutup celah kerugian BUMN sebagai kerugian negara, sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor.

Tetapi, pelanggaran atas pasal 9F dalam UU No.1/2025 masih memiliki hubungan dengan UU Tipikor.

Pasal 87 ayat (5) UU No.1/2025 memang menyatakanKaryawan BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.”

“Tetapi tidak menyebutkan bahwa mereka ini bukan pegawai negeri,” ujarnya.

Sementara, jelasnya, dalam Undang-Undang No.31/1999 tentang Tipikor pasal 1 disebutkan Pegawai Negeri meliputi:

a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian. 

b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP

c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah. 

d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau

e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. 

“Katakanlah a,b,c ini tidak kena, (tetapi) di d dan e bisa. Yaitu orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara,” ujarnya.

“Jelas di sini bahwa pengertian pegawai negeri ini luas sekali dan bisa mencakup direksi maupun komisaris atau dewan pengawas dari BUMN,” tambah Albertina.

Ia mengatakan celah yang ditutupi oleh UU No.1/2025 hanya kerugian negara.

“Kerugian negara dan penyelenggara negara itu ditutup. Mereka bisa bukan lagi penyelenggara negara dan bukan lagi kekayaan negara yang dipisahkan,” ujarnya.

Tetapi, kerugian negara dalam Undang-Undang Tipikor hanya diatur dalam pasal 2 dan 3. Sementara, tindak pidana yang lain tidak.

Baca Juga :   UU BUMN Perkuat Kewenangan Bank Himbara Melakukan Hapus Buku dan Hapus Tagih Piutang Macet

Albertina mengambil contoh pasal 12B Undang-Undang Tipikor No.20/2001, yaitu terkait gratifikasi.

Pasal 12B bahkan hukuman penjarannya lebih berat yaitu “dipidana penjara seumur hidup bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji yang diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakan dan seterusnya…”. 

Balik lagi, meski pasal 87 ayat (5) UU No.1/2025 menyatakan “Karyawan BUMN bukan merupakan penyelenggara negara,” tetapi Albertina mengatakan direksi, komisaris atau dewan pengawas BUMN tetap masuk dalam cakupan pegawai negeri sebagaimana diatur dalam pasal 1 Undang-Undang No.31/1999 tentang Tipikor, khususnya huruf ‘d’ dan ‘e’.

Dalam UU No.1/2025 celah penghubung dengan UU Tipikor itu dibuka melalui pasal 9F baik ayat (1) maupun ayat (2).

“Kalau kita lihat di pasal pertanggungjawaban hukum yaitu pasal 9F UU BUMN, itu jelas. Anggota Direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian BUMN jika dapat membuktikan. Jadi, dia dapat membuktikan kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya. Kalau kita bicara kesalahan atau kelalaian, ini kan sudah ranah pidana. Kemudian, telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehatian-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan tujuan BUMN. Di sini kena perdata,” jelasnya.

“Kemudian, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian. Ini perdata. Dan, ini (berarti kumulatif), telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut,” tambahnya.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics