Lebih Kecil dari Usulan OJK, Komisi XI DPR RI Menyetujui Pagu Indikatif RKA OJK Tahun 2025 Sebesar Rp11,55 Triliun

0
107

Komisi XI DPR RI menyetujui pagu indikatif atau pagu sementara Rencana Kerja dan Anggaran [RKA] Otoritas Jasa Keuangan [OJK] tahun 2025 dalam rapat kerja, Kamis (27/6).

Namun, pagu indikatif yang disetujui ini lebih kecil dari usulan OJK yang dipaparkan dalam rapat sehari sebelumnya, Rabu (26/6).

Dalam rapat yang dipimpin Ketua Komisi XI, Kahar Muzakir dan Wakil Ketua Komisi XI, Dolfie Othniel Frederic Palit, pagu sementara RKA OJK tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp11.557.368.948.861.

Sementara OJK sebelumnya mengusulkan RKA tahun 2025 sebesar Rp13.220.787.853.033.

Karena perbedaan tersebut, pengambilan keputusan berjalan alot.

Namun, dalam pembahasan, Komisi XI menyakinkan OJK bahwa ini bukan merupakan pagu definitif. Sesuai siklus pembahasan anggaran, pagu definitif baru ditetapkan setelah penyampaian Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang APBN 2025 yang dibacakan Presiden pada 16 Agustus. Setelah itu, hingga 30 Setember pagu indikatif ini akan dibahas kembali untuk ditetapkan menjadi pagu definitif.

“Kita masih punya peluang dari sini ke bulan September, masih bisa berpikir-pikir. Siapa tahu melalui FGD itu, situasi akan menjadi lebih cair lagi. Kan ini semuanya bersifat dinamis,” ujar Ketua Komisi XI Kahar Muzakir.

Baca Juga :   OJK Cabut Izin Usaha BPR di Bali, yang ke-8 pada Tahun Ini

Pembahasan anggaran OJK sesuai siklus APBN baru pertama kali pada RKA 2025, sebagai implikasi dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), yang menyatakan anggaran OJK menjadi bagian dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara [BA BUN] pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.  

Sebelum pimpinan Komisi XI megesahkan pagu indikatif tersebut, Mirza Adityaswara, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK mengatakan OJK mengusulkan RKA sebesar Rp13,22 triliun  – meningkat sekitar 64% dari RKA 2024 – karena tahun depan OJK memiliki dua sumber penerimaan yaitu dari Pungutan 2024 dan Pungutan 2025.

Karena berasal dari dua sumber, proyeksi penerimaan OJK tahun 2025 mencapai Rp16,6 triliun, masing-masing Rp8,07 triliun dari Pungutan 2024 dan Rp8,52 triliun dari Pungutan 2025.

Adanya dua sumber penerimaan tersebut juga merupakan implikasi dari penerapan UU P2SK. Selama ini pengeluaran OJK untuk tahun berjalan bersumber dari Pungutan tahun sebelumnya. Tetapi, mulai tahun 2025 anggaran pengeluaran tahun berjalan juga bersumber dari Pungutan tahun tersebut. 

Baca Juga :   Kolaborasi OJK dan Kemenko Polhukam untuk Penegakan Hukum di Sektor Jasa Keuangan

Karena tahun 2025 adalah masa transisi, sumber penerimaan berasal dari Pungutan tahun 2024 sekaligus Pungutan 2025, karena tahun anggaran 2024 OJK masih menggunakan Pungutan tahun 2023.

Memanfaatkan momentum tersebut, Mirza mengatakan, OJK pun melakukan percepatan pelaksanaan beberapa program, seperti pembangunan gedung di daerah, penguatan infrastruktur IT dan perekrutan sumber daya manusia [SDM]. 

“Maka pembangunan gedung anggarannya naik cukup banyak dari Rp129 mliar, menjadi Rp1,3 triliun. [Anggaran] IT [untuk] perkuatan SLIK dan macam-macam, dari Rp251 miliar menjadi Rp470 miliar,” ujar Mirza.

Untuk perekrutan sumber daya manusia, Mirza mengatakan, masing-masing fungsi pengawasan di OJK saat ini membutuhkan tambahan sumber daya manusia.

“Intinya, ada kekurangan orang,  sehingga kami melakukan percepatan rekrutmen,” ujarnya.

“Maka kalau dikurangi dan cukup signifikan pengurangannya dari Rp13,22 triliun ke Rp11, 55 triliun, maka yang berkurang adalah anggaran IT, anggaran pembangunan gedung di berbagai daerah tersebut dan anggaran rekrutmen SDM. Dan semua pasti berdampak kepada kinerja OJK,” ujarnya.

Leave a reply

Iconomics