Kinerja Sektor Keuangan Masih Bagus, Revisi Undang-Undang BI Tak Perlu

0
158
Reporter: Petrus Dabu

Rencana revisi Undang-Undang Bank Indonesia yang kini sedang dibahas di Badan Legislasi DPR RI dianggap tidak perlu dilakukan, apalagi kondisi sektor keuangan saat ini secara umum tidak mengalami masalah di tengah pandemi Covid-19.

Dua isu yang menjadi polemik saat ini terkait revisi Undang-Undang BI adalah soal ancaman hilangnya independensi bank sentral karena adanya dewan moneter yang bisa menghilangkan peran dewan gubernur BI dalam merancang kebijakan moneter. Selain itu, isu lain adalah soal mengembalikan pengawasan perbankan ke Bank Indonesia yang sejak 2011 diemban oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Sektor keuangan kita tidak betul-betul dalam keadaan terdesak sehingga harus dilakukan revisi Undang-Undang tersebut,” ujar Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi, dalam diskusi virtual yang digelar INDEF, Kamis (1/10).

Menurutnya, kalau tujuan revisi adalah untuk meningkatkan koordinasi, independensi bank sentral harus tetap dijaga. Karena itu, pasal-pasal yang mengancam independensi Bank Indonesia dalam draf revisi dihilangkan.  “Karena sangat-sangat tidak sesuai dengan keinginan pasar dan kebutuhan masa kini,” ujarnya.

Baca Juga :   Aspakrindo-ABI Sambut Positif Hadirnya Peta Jalan IAKD 2024-2028

Independensi Bank Indonesia diatur secara tegas sejak tahun 1999 sebagai koreksi atas ketidakmampuan bank sentral saat itu dalam menghadapi krisis moneter tahun 1998 yang berawal dari krisis di Thailand. Fithra mengatakan sejak tahun 1999, BI independen dalam mengelola kebijakan makorprudensial tanpa diintervensi lagi oleh pemerintah seperti sebelumnya.

Selanjutnya pada saat krisis keuangan global tahun 2008, meski Indonesia tidak begitu kena imbasnya, tetapi krisis tersebut membuka adanya loophole dalam regulasi keuangan di Indonesia dengan meledaknya kasus Bank Century. Bank ini merupakan hasil merger dari sejumlah bank yang proses mergernya sendiri berada di bawah pengawasan Bank Indonesia.

“Tetapi pada saat itu seperitnya Bank Indonesia miss sehingga ada beberapa indikator, salah satunya Non Performing Loan di atas 100% kalau tidak salah, itu kemudian menyebabkan Bank Century meledak tahun 2008 bersamaan dengan global financial crisis,” ujarnya.

Bank Century kemudian mendapatkan dana talangan sebesar Rp6,7 triliun, sebab bila tidak, maka dikhawatirkan menimbulkan dampak sistemik. Tetapi keputusan ini kemudian membuat gaduh secara politik.

Baca Juga :   ADK OJK Friderica Ingatkan UMKM untuk Perhatikan Perencanaan Keuangan

“Dari situ kemudian para regulator melihat bahwa ini ada loophole yang memang harus segera ditangani,” ujar Fithra.

Maka kemudian tahun 2011 terbitlah Undang-Undang No.21 tahun 2011 yang menjadi dasar hukum pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Dan kita melihat sampai sekarang meskipun banyak kontroversi-kontroversi, meksipun banyak hal-hal yang perlu diperbaiki, tetapi di tahun 2020 setidaknya melalui dashboard yang kami amati, sektor keuangan masih berada di zona hijau,” kata Fithra.

Karena itu, menurut Fithra kewenangan pengawasan bank tak perlu dikembalikan lagi ke Bank Indonesia. Malah sebaliknya, keberadaan OJK perlu untuk diperkuat.

 

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics