
Kebijakan DMO dan DPO CPO, Masihkah Perlu Diteruskan?

Pembukaan IPOC 2022 di Nusa Dua Bali, Kamis 3 NOvember 2022
Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2022 yang berlangsug di Nusa Dua Bali, Kamis (3/11) menyoroti sejumlah regulasi pemerintah terkait sawit selama tahun 2022 ini. Selain kebijakan larangan ekspor yang kini sudah dicabut, masih ada kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) yang kini masih berlaku.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF ), Tauhid Ahmad mengatakan kebijakan DMO dan DPO dibuat saat volatilitas harga minyak goreng di dalam negeri tinggi dan berimbas pada kenaikan inflasi. Karena itu, menurunnya ketika saat ini volatilitas harga minyak goreng sudah rendah, mestinya kebijakan tersebut sudah tidak diperlukan lagi.
“Dengan situasi volatilitas harga yang tidak terlalu besar, misalnya, dalam beberapa bulan harga dipertahankan di level Rp11 ribu sampai 12 ribu, dalam beberapa bulan relatif stabil, menurut saya DMO atau DPO itu harusnya sudah tidak ada. Jadi tergantung volatilitas,” ujar Tauhid di Nusa Dua, Bali, Kamis (3/11).
DMO dan DPO CPO dibuat pemerintah sebagai instrumen untuk menjaga pasokan bahan baku minyak goreng untuk menjaga stabilitas harga di dalam negeri. Menurut Tauhid memang perlu ada instrumen dari pemerintah untuk stabilisasi harga minyak goreng di dalam negeri untuk mengendalikan inflasi. “Alternatif stabilisasi harga ya, dengan menyediakan harga yang relatif murah tetapi bisa jadi peluangnya tidak perlu ada DPO atau DMO. Tetapi ada subsidi di situ yang bisa diberikan,” ujarnya.
Porsi produksi minyak goreng dari BUMN yang hanya 4%, menurut Tauhid memang tidak cukup untuk bisa mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri. Karena itu, perlu keterlibatan pihak swasta, tetapi ada kekhawatiran komitmen pihak swasta ini tidak bisa diikat.
“Menurut saya kuncinya memang pada volatilitas harga itu sendiri. Tetapi dalam jangka pendek, porsinya kalau bisa, kalaupun diberlakukan (DMO dan DPO), dikurangi,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Dendi Ramdani, Vice President for Industry and Regional Research, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk mengatakan kebijakan DMO dan DPO merupakan kebijakan tidak ramah dan menciptakan distorsi di pasar. Implementasinya juga ribet.
“Sampai batas tertentu, itu bisa membuat komplikasi administrasi yang bisa membuat ekspor itu susah meningkat. Saya lebih suka secara pribadi, DMO-DPO itu sudah enggak perlu. Jadi, yang paling baik dan kebijakan yang transparan kredibel lewat pajak ekspor atau pungutan ekspor yang selama ini masuk BPDPKS. Mekanisme lewat subsidi dari BPDPKS, saya pikir itu bisa jadi alternatif,” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, meminta pemerintah untuk lebih matang dalam membuat kebijakan terkait perkelapasawitan di dalam negeri. Kebijakan larangan ekspor pada Mei lalu, menurutnya, telah menyebabkan sebagian pasat ekspor CPO Indonesia direbut Malaysia.
Hariyadi juga menyoroti kebijakan DMO dan DPO, yang menurutnya, melawan pasar. “Ke depan memang kita berharap kebijakan itu tidak dilakukan lagi,” ujar Hariyadi.
Leave a reply
