Joe Biden-Kamala Harris akan Dilantik, Arah Kebijakan Dagang Amerika Terhadap Indonesia Tak Banyak Berubah 

0
134

Pasca pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Amerika Serikat terpilih Joe Biden-Kamala Harris pada 20 Januari nanti, kebijakan dagangnya terhadap Indonesia diperkirakan tak banyak berubah. Amerika Serikat tetap menempatkan kepentingan negaranya sebagai yang utama seperti halnya pemerintahan sebelumnya.

“Mengenai arah kebijakan ekonomi dan perdagangan Indonesia-AS, menurut kami  akan tidak berubah banyak. The objective tetap sama untuk men-serve kepentingan Amerika tentu saja. Namun gaya, tone, approach berbeda, lebih multilateralism, lebih friendly, namun pasti,” ujar Ni Made Ayu Marthini, Direktur Perundingan Bilateral Kementerian Perdagangan dalam diskusi virtual yang digelar Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS), Selasa (19/1).

Amerika Serikat merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia. Tahun 2019 lalu, nilai perdagangan kedua negara mencapai  US$27,1 miliar. Ekspor Indoneisa ke AS mencapai US$17,8 miliar dan impor AS ke Indonesia mencapai US$9,3 miliar. Mayoriatas produk ekspor Indonesia ke AS adalah produk-produk terkait sumber daya alam dan tekstil. Sedangkan impor dari AS kebanyakan produk pertanian seperti kedelai, kapas, dan gandum.

Baca Juga :   Anggota Komisi XI DPR Minta Pemerintah dengan Instrumen Fiskal Bantu Pelaku Bisnis Hadapi Kebijakan Trump

Indonesia akan tetap menjadi mitra strategis bagi Amerika Serikat baik secara geopolitik maupun geoekonomi. Dan Amerika Serikat akan tetap menjadi mitra dagang yang utama bagi Indonesia.

Ni Made mngatakan dalam jangka pendek, dari sisi perdagangan fokus Indonesia adalah mengisi pasar Amerika Serikat yang mungkin ditinggalkan oleh RRT atau negara-negara lainnya.

“Sebagai informasi saja, Thailand, India, dan Turki itu sudah kehilangan skema Generalized System of Preferences (GSP) [dari AS], padahal produk-produk mereka itu sejenis dengan produk Indonesia,” ujarnya.

Terkait GSP ini, ia mengungkapkan fasilitas GSP ini sangat penting artinya bagi Indoneisa dimana hampir 10% dari ekspor Indonesia ke Amerika Serikat atau sekitar US$2,5 miliar mendapatkan fasilitas GSP. Masih ada peluang untuk meningkatkan nilainya karena dari 5.000 pos tarif yang mendaptkan fasilitas tersebut, Indonesia baru memanfaatkan 800 pos tarif. “Masih ada gap antara apa yang eligible di dalam GSP dengan apa yang Indonesia telah manfaatkan,” ujarnya.

Ni Made mengatakan selama pemerintahan Donald Trump, melalui forum bilateral Trade and Investment Framework Agreement (TIFA), Indonesia telah menyampaikan usulan agar produk yang sudah mendapatkan GSP ini diikat untuk tetap mendapatkan fasilitas GSP.  “Tetapi karena dinamika yang luar biasa menjelang pemilu dan policy Amerika yang very China centris, itu belum terjadi. Kita coba kalau dalam [pemerintahan] Biden kalau ada appetite dari Biden mungkin kita akan coba lagi,” ujarnya.

Baca Juga :   Status Indonesia Sebagai Negara Maju, Tak Pengaruhi Insentif GSP

Selain soal GSA, pemerintah Indonesia juga akan terus melakukan pembelaan diri terkait tuduhan praktik dumping terhadap sejumlah produk yang diekspor ke Amerika Serikat seperti matras, steel, kertas, biodiesel, biji besi dan baja. Pengenaan bea masuk anti dumping (Antidumping Duties) dan Bea Masuk Imbalan (Countervailing Duties) atas beberapa produk tersebut merugikan kinerja ekspor Indonesia.

“Jadi kalau tidak dikenakan maka ekspor kita lebih meningkat atau tidak terganggu,” ujar Ni Made.

Isu lainnya adalah soal digital service tax. Amerika Serikat yang menjadi pusat dari sejumlah perushaan teknologi mempersoalkan negara-negara yang mengenakan pajak digital dari perusahaan teknologi, termasuk yang dilakukan oleh Indonesia.  Soal digital tax ini memang yang menjadi masalah saat ini adalah belum adanya regulasi internasional yang mengaturnya yang menjadi acuan berbagai negara di dunia.

Leave a reply

Iconomics