Jadi Mesin Pertumbuhan Ekonomi, Apa yang Dilakukan Pemerintah Menjaga Daya Beli Kelas Menengah di Indonesia?

0
122

Jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik [BPS]. Padahal, kelas menengah merupakan mesin pertumbuhan ekonomi.

BPS dalam pengumuman akhir Agustus 2024, mengungkapkan jumlah kelas menegah di Indonesia berkurang dari 48,27 juta orang pada 2023 menjadi 47,85 pada 2024. Jumlah kelas menengah ini terus mengalami penurunan, dari 53,33 juta pada 2019.

BPS mendefinisikan kelas menengah adalah penduduk dengan penghasilan Rp2 juta hingga Rp9,9 juta per bulan.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Ferry Irawan mengatakan, pemerintah Indonesia menempatkan masyarakat kelas menengah sebagai prioritas utama dalam upaya menjaga daya beli.

Sebab, menjaga daya beli masyarakat kelas menengah merupakan langkah strategis yang tidak hanya akan berdampak pada perekonomian domestik, tetapi juga pada perekonomian global.

Ia mengatakan, kelas menengah merupakan mesin (engine) pertumbuhan ekonomi, baik secara nasional maupun global.

“Kita akan memperhatikan kelas menengah ini dengan serius. Kelas menengah khususnya di Asia akan menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi global,” ujarnya dalam Forum Diskusi Merdeka Barat 9 (FMB9) dengan tema ‘Satu Dekade Membangun Indonesia Maju’, Senin (9/9).

Baca Juga :   Survei IPW Sebut Minat Masyarakat Beli Properti Capai 68,09% di Masa Pandemi

Strategi pemerintah dalam menjaga daya beli kelas menengah didasarkan pada pemahaman yang mendalam terkait dua hal, yakni profil konsumsi dan karakteristik pekerjaan. Konsumsi kelas menengah mencakup kebutuhan penting seperti pendidikan, perumahan, bahan makanan, transportasi, hingga hiburan.

Oleh karena itu, kebijakan yang dirancang tidak hanya bertujuan untuk mendukung kebutuhan dasar tetapi juga kebutuhan sekunder yang menjadi bagian dari gaya hidup kelas menengah.

Sedangkan dari karakteristik pekerjaan, Ferry menjelaskan, kelas menengah di Indonesia sebagian besar bekerja di sektor formal dan wirausaha. Karenanya, pemerintah telah meningkatkan berbagai insentif bagi perusahaan yang awalnya 50 persen kini menjadi 100 persen.

Sementara bagi wirausaha, pemerintah memperkuat program pendampingan UMKM dan memperluas akses pembiayaan, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang telah mencapai Rp280 triliun.

“Kelas menengah butuh pelampung, kalau KUR adalah kail, perumahan adalah ikannya, dan pelampung itu adalah jaminan kehilangan pekerjaan,” jelas Ferry.

Selain itu, program kompensasi finansial dan dukungan pelatihan bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan juga menjadi fokus utama pemerintah. Dengan subsidi pada beberapa kebutuhan kelas menengah, pemerintah berharap dapat menjaga daya beli mereka dan menjadikan kelas menengah sebagai pilar utama dalam perkembangan ekonomi Indonesia.

Baca Juga :   Gen Z Tak Pangkas Anggaran Skincare, Pasar Skincare Bergeser Jadi Black Ocean

Kendati demikian, pemerintah juga tidak melupakan masyarakat kelas bawah dengan berbagai program bantuan sosial yang terus diperkuat untuk memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat tetap memiliki daya beli yang cukup.

Selain menjaga daya beli kelas menengah, pemerintah juga gencar melakukan berbagai strategi dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional, terutama untuk menghadapi tantangan eksternal yang silih berganti.

Ferry mengingatkan salah satu tantangan eksternal yang pernah dialami, yakni isu perlambatan ekonomi Tiongkok pada 2016. Padahal Negeri Tirai Bambu itu merupakan tujuan utama ekspor Indonesia dengan porsi sekitar 20 persen.

“Apa yang terjadi di Tiongkok, secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi ekonomi kita, termasuk dalam hal investasi,” jelasnya.

Kemudian, pada periode 2017-2019, ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok semakin meningkat, yang juga memberikan tekanan pada perekonomian global. Puncaknya, pada 2020, pandemi COVID-19 melanda dunia, menyebabkan pembatasan aktivitas yang berdampak besar pada perekonomian.

Belum selesai dengan pandemi, dunia kembali dihadapkan pada konflik geopolitik Rusia-Ukraina dan kebijakan moneter ketat di negara-negara maju.

Baca Juga :   Saran Inventure ke Pemerintahan Prabowo, Segera Pulihkan Daya Beli Masyarakat !

Meskipun demikian, Ferry mencatat bahwa ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh sekitar 5 persen. “Memang pada 2020-2021 kita sempat mengalami kontraksi ekonomi, tetapi dari kontraksi -0,7 persen kita bisa tumbuh kembali 3,7 persen, dan pada 2022 kembali ke 5,3 persen,” ungkapnya.

Menurut Ferry, pemulihan ekonomi secara cepat ini berkat strategi integrasi kebijakan yang kuat dan efektif yang dilakukan pemerintah, seperti menjaga pasokan kebutuhan pokok, distribusi pangan, hingga peningkatan kerja sama antar daerah.

Strategi-strategi ini memungkinkan Indonesia mencapai keseimbangan antara produsen dan konsumen dalam target inflasi yang kini menjadi salah satu fokus utama pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi di tengah beragamnya tantangan global.

“Inflasi kita harapkan berada di kisaran 2,5 persen dengan toleransi plus minus 1 persen,” ujarnya.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics