
Ini Tantangan Pengembangan Keuangan Syariah di Indonesia dan Upaya OJK Mengatasinya

Deden Firman Hendarsyah, Direktur Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan/Iconomics
Sebagai negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia, pengembangan keuangan syariah harusnya tidak begitu sulit di Indonesia. Namun, nyatanya tidak demikian.
Deden Firman Hendarsyah, Direktur Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan sejumlah tantangan yang dihadapi dalam pengembangan keuangan syariah di Indonesia yang berkelindan satu sama lain.
Pertama, penetrasi keuangan syariah masih rendah dibandingkan konvensional. Meski trennya dari tahun ke tahun terus tumbuh, tetapi market share keuangan syariah di Indonesia pada tahun 2020 lalu baru 9,9% dari sisi aset. Rinciannya, market share perbankan syariah berada angka 6,43%, keuangan non bank syariah masih di kisaran 4-5% dan pasar modal syariah sebesar 17,5%.
Tantangan kedua adalah literasi dan inklusi keuangan syariah juga masih rendah. Deden mengatakan berdasarkan survei OJK, inkluasi keuangan syariah hanya 9,1% dan tingkat literasi hanya 8,9% , lebih rendah jika dibandingkan dengan literasi dan inkluasi keuangan secara umum.
“Artinya bisa kita bayangkan di antara 100 orang Indonesia, hanya kurang dari 10 orang yang telah memahami dan menggunakan produk atau jasa keuangan syariah,” ujar Deden dalam webinar ‘Tantangan dan Peluang Ekosistem Ekonomi Syariah 2021’ yang digelar Iconomics, Jumat (29/1).
Ketiga, diferensiasi model bisnis dan produk keuangan syariah. Masyarakat dari waktu ke waktu terus meningkatkan tuntutannya akan layanan dan produk yang bisa memenuhi kebutuhan mereka. Karena itu bila keuangan syariah ingin bersaing dengan industri keuangan konvensional tentunya industri keuangan syariah mau tidak mau harus mampu menjawab tantangan agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.
Keempat, masih belum cukup memdainya adopsi teknolgi. Deden mengatakan teknologi merupakan game changer yang sangat signifikan di industri keuangan. Sekarang semuanya megarah kepada digitalisasi termasuk tentunya digitalisasi di sektor keuangan syariah.
Kelima, optimalisasi sumber daya manusia. Sebagai industri yang lebih muda dibandingkan dengan industri keuangan kovensional, kebutuhan akan sumber daya manusia yang memahami keuangan sekaligus juga memhami fikih muamalah dari industri menjadi tantangan tersendiri. Beruntungnya saat ini banyak perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki program studi ekonomi dan keuangan syariah.
Meski dihadapkan dengan tantangan-tantangan demikian, tetapi industri keuangan syariah masih tetap tumbuh. Bahkan di masa pandemi ini, keuangan syariah masih tumbuh. Dari sisi penyaluran kredit/pembiayaan perbankan misalnya. Penyaluran kredit bank konvensional pada tahun 2020 lalu terkontraksi 2,4%. Sementara pembiayaan bank syariah tumbuh positif di kisaran 6%.
Peluang pertumbuhan industri keuangan syariah ini masih besar. Salah satu potensi pertumbuhan itu berasal dari industri halal yang sedang tumbuh pesat saat ini.
Deden mengatakan Indonesia juga memiliki basis riset yang baik di dalam industri keuangan syariah. Ini tidak terlepas dari begitu banyak perguruan tinggi yang memiliki program studi ekonomi dan keuangan syariah.
Dari sisi regulasi juga, tambah Deden, regulasi kita di bidang keuangan syariah juga dinilai cukup cukup lengkap oleh dunia internasional.
“Dengan bermodal potensi tersebut juga dengan bermodal pengakuan dari dunia internasional tentunya kita optimis bahwa ke depan kita dapat lebih mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah kita. Untuk dapat mendukung pengembangan ekonomi syariah secara keseluruhan, maka kami yakin ini harus didukung oleh industri keuangan syariah yang kuat. Kami sering menganalogikan bahwa industri keungan di dalam ekosistem ekonomi syariah itu seperti layaknya jantung bagi tubuh kita yang memompakan kebutuhan likuiditas bagi ekosistem ekonomi syariah kita,” ujar Deden.
Karena itu, OJK menaruh perhatian pada pengembangan keuangan syariah dengan berfokus pada tiga hal yaitu penguatan lembaga keuangan syariah, penciptaan demand keuangan syariah dan ekosistem keuangan syariah yang terintegrasi dengan industri halal dan dengan ekosistem ekonomi secara umum.
Untuk menciptakan suatu lembaga keuangan syariah yang kuat, jelasnya, paling tidak ada tiga pilar. Pertama, OJK mendorong pengembangan produk dan layanan berbasis syariah yang berdaya saing. Tentunya, harus bisa menciptakan produk yang unik, dibutuhkan masyarakat dan tetap sesuai prinsip syariah.
Pilar yang kedua terkait denga kelembagaan keuangan syariah adalah penguatan atau konsolidasi perbankan syariah. Konsolidasi keuangan syariah itu salah satu yang utama adalah melalui penguatan permodalan untuk memperbesar kapasitas dari lembaga keuangan. Salah satu contoh konsoliasi keuangan syariah terbaru adalah merger tiga bank syariah milik BUMN yang akan diluncurkan pada 1 Februari 2021. “Kami harapkan bank yang memiliki skala ekonomi yang besar itu bisa menjadi show case bagi produk dan layanan syariah yang lebih baik,” ujarnya.
Pilar yang ketiga dari sisi kelembagaan adalah mendorong peningkatan penggunana teknologi informasi. Sekali lagi, teknologi informasi merupakan hal yang sangat siginifikan bagi suksesnya pengembangan industri keuangan syariah di Indonesia sejalan dengan perubahan prilaku masyarkat. Industri keuangan syariah juga mesti mengadopsi teknologi terkini seperti blockchain, cloud computing, Artificial intelligence (AI) untuk meningkatkan efisiensi biaya. Hal ini tentunya juga harus dilandasi atau dilakukan dengan memperbaiki infrastruktur termasuk penyediaan sumber daya manusia yang memdai.
Dalam penciptaan demand keuangan syariah, ada beberapa hal yang dilakukan. Pertama, peningkatan literasi keuangan syariah dan program inklusi keuangan harus terus dilakukan. Kemudian kedua, promosi atas produk dan layanan keuangan syariah juga harus kita lakukan. Ketiga adalah perluasan kanal distribusi penawaran produk keuangan syariah.
Deden mengatakan arah kebijakan OJK terkait keuangan syariah ini tentunya untuk mendukung ekosistem ekonomi syariah. “Kita ingin memperkuat dukungan infrastruktur dan pembiayaan syariah dari hulu ke hilir,” ujarnya.
Indonesia memiliki beragam pelaku keuangan syariah. Mulai dari pelaku keuangan syariah mikro, fintech, perbankan syariah, industri keuangan non bank syariah dan pasar modal syariah. “Kita juga akan terus mendorong LJK syariah untuk mendukung pembangunan kawasan industri halal, menyediakan layanan keuangan bagi pengembangan pariwisata halal, energi terbarukan, makan dan minuman serta farmasi dan tentunya kosmetik halal,” ujarnya.
Selain itu, OJK terus mengembangkan Islamic social finance. Komiten Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) pada awal pekan ini mendeklarasikan Gerakan Nasional Wakaf Uang sebagai salah satu bentuk dari Islamic social finance. “Kami yakin ke depan, dengan berkolaborasi antara perbankan syariah dan industri keuangan syariah lainnya, maka Gerakan Wakaf Uang ini bisa berhasil dengan baik,” ujar Deden.
OJK juga terus mendukung pembiayaan sektor UMKM di ekosistem ekonomi syariah. “Kita akan memperluas akses keuangan syariah kepada UMKM dan dalam jangka panjang memberdayakan UMKM untuk dapat mandiri,” ujarnya.
Salah satu bentuk dukungan perluasan akses keuangan syariah itu adalah OJK mendukung pendirian Bank Wakaf Mikro untuk pengusaha mikro di industri ekonomi syariah ini.
Leave a reply
