Indonesia Clean Energy Forum Dorong Pemerintah Tak Hanya Bergantung pada Pembiayaan dari Negara Maju untuk Transisi Energi

0
228

Chairman atau Ketua Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) Bambang Brodjonegoro mendorong pemerintah Indonesia untuk tidak hanya bergantung pada pembiayaan dari negara-negara maju untuk melakukan transisi energi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan. Inisiatif cepat dalam jangka pendek juga harus terus diintensifkan sembari mencari dukungan pendaaan dari negara-negara maju.

Hal itu disampaikan Bambang pada hari pertama pelaksanaan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD). Acara ini digelar oleh ICEF dan Institute for Essential Services Platform (IESR) di Hotel JS Luwansa,  Jakarta selama tiga hari sejak Senin (18/9) hingga Rabu (20/9).

Bambang mengatakan komitmen dukungan pendanaan dari internasional untuk transisi energi memang sudah mulai ada, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) dari negara-negara G20 dan Asia Zero Emission Community (AZEC) dari pemerintah Jepang.

“Tetapi kita jangan bergantung pada itu. Kita justru harus kreatif mencari apa quick win yang bisa kita lakukan dalam konteks domestik, tanpa harus bergantung kepada dukungan dari luar,” ujar Bambang.

Bambang mengatakan sejauh pengamatannya, Indonesia sebenarnya sudah melakukan dua upaya sendiri, meski intensitasnya masih kurang cepat. Pertama, PT PLN (Persero) sudah mengurangi pemakaian diesel (dedieselisasi) dan menggantikannya dengan pembangkit energi terbarukan seperti energi surya dan energi angin.

“Menurut saya itu langkah yang bagus, karena [pembangkit listrik] diesel yang hari ini tersebar di berbagai tempat masih di atas 3 GW. 3000 MW itu angka yang besar. Berarti karbon yang dihasilkan besar. Itu yang kita sasar, dedieselisasi,” ujar mantan Menteri Keuangan dan Manteri PPN/Kepala Bapenas ini.

Baca Juga :   Bahas Transisi Energi dan Transformasi Digital, Menteri Johnny Sebut Banyak Peminat

Selain dedieselisasi, tambah Bambang, upaya kedua yang juga sudah dilakuan oleh PLN adalah co-firing yaitu mencampurkan proses pembakaran di PLTU dari yang tadinya 100% menggunakan energi primer batubara menjadi sekitar 95% batubara dan 5% lainnya dari biomassa.

“Satu kelebihan dari biomassa adalah melibatkan masyarakat langsung karena penyediaan input atau energi primernya itu bisa diusahakan masyarakat sebagai katakan tambahan income untuk masyarakat,” ujar Bambang.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yudo Dwinanda Priaadi mengungkapkan selain teknologi, transisi energi memang membutuhkan dukungan pembiayaan yang besar.

Yudo mengatakan The International Renewable Energy Agency (IRENA) dalam kerja sama dengan India yang memegang keketuaan G20 saat ini, baru-baru ini meluncurkan laporan bertajuk Low-cost financing. Menurut laporan tersebut, yang diluncurkan dalam pertemuaan pimpinan negara G20 di India dimana Yudo juga hadir, setidaknya dibutuhkan investasi US$4,4 triliun secara global tiap tahunnya untuk membiayai transisi energi.

Baca Juga :   IESR Ungkap Sejumlah Tantangan dalam Transisi Energi di Indonesia

Terkait dukungan pendanaan ini, Yudo mengatakan pada Februari lalu, Kementerian ESDM telah membentuk sekretariat tim kerja JETP, yang siap bekerja merealisasikan kerja sama pendanaan transisi energi.

“JETP masih terus dimatangkan, tetapi kita sekarang sudah ada sekretariat. Sekarang proses diskusi terus dilakukan. Minggu ini di New York diskusinya sedang jalan antara pemerintah Indonesia dan IPG (International Partners Group),” ujar Yudo.

Selain dukungan pendanaan dari JETP, tambah Yudo, Indonesia juga mendapatkan komitmen dari pemerintah Jepang melalui Asia Zero Emission Community. Menurut Yudo, pemerintah Jepang awalnya berkomitmen untuk memberikan dukungan pendanaan sebesar US$500 juta yang diprioritas untuk Indonesia. Namun, kemungkinan dukungan pendanaan itu akan meningkat menjadi miliaran dollar Amerika Serikat.

Terkait negosiasi dengan JETP, Bambang Brodjonegoro menyampaikan beberapa usulan kepada pemerintah Indonesia. Untuk financing, Bambang mendorong agar porsi equity financing lebih besar daripada debt financing, sehingga tidak ada pergunjingan transisi energi di Indonesia justru menambah utang.

“Supaya equity financing-nya lebih besar, porsi grant atau hibah dalam JETP juga harus ditambah karena bagaimana pun investor mau masuk kalau ada dukungan dan jaminan untuk investor tersebut dari pemerintah,” ujarnya.

Selain itu, Bambang juga mendorong pemerintah Indonesia untuk bernegosiasi dengan JETP agar dukungan pendanaan tidak terbatas pada energi surya dan energi angin, tetapi juga terbuka untuk sumber energi terbarukan lainnya seperti biomassa dan air.

Baca Juga :   Lebih Banyak Manfaat Ketimbang Mudarat, Pemensiunan PLTU Batubara Harus Segera Diimplementasikan

“Jadi, kalau bisa dalam negosiasi jangan 100% hanya untuk dua itu [surya dan angin]. Karena kalau angin rada susah nyarinya di Indonesia. Kalau lihat peta potensi angin di Indonesia, hanya beberapa spot. Yang tenaga surya juga, masih hambatan karena banyak awan, kemudian sedikit sekali yang tidak lembab Indonesia karena kita di khatulistiwa,” ujar Bambang.

Bambang juga mendorong agar pendanaan yang diberikan JETP ini tidak hanya untuk transisi energinya, tetapi juga untuk investasi pembangunan jaringan listrik mengingat Indonesia adalah negara kepulauan yang membutuhkan jaringan yang juga panjang untuk mengalirkan listrik yang dihasilkan energi terbarukan. Berbeda dengan energi fosil seperti batubara dan gas, yang energi primernya bisa dipindahkan dari tempat penambangannya, untuk energi terbarukan seperti angin dan surya, energi primernya bersifat lokal dan hanya bisa dipindahkan atau dieskpor ketika sudah menjadi energi listrik.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics