IESR Ungkap Sejumlah Tantangan dalam Transisi Energi di Indonesia

0
207

Institute for Essential Services Platform (IESR) dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) mengungkapkan sejumlah tantangan dalam transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan di Indonesia.

Executive Director of IESR, Fabby Tumiwa mengatakan tantangan transisi energi di Indonesia banyak. Tantangan yang kasat mata saat ini, menurut dia adalah overcapacity atau kelebihan pasokan listrik di PLN.

“Ini perkara yang cukup serius. Overcapacity cukup banyak 3-4 gigawatt,” ujar Fabby dalam konferensi pers hari pertama acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD). Acara ini digelar oleh Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan IESR di Hotel JS Luwansa, Jakarta selama tiga hari sejak Senin (18/9) hingga Rabu (20/9).

Fabby mengatakan saat pasokan listrik PLN berlebih, pada saat yang bersamaan Indonesia dituntut untuk menambah pembangkit listrik terutama  untuk menaikkan bauaran energi baru dan terbarukan.

“Dari hitung-hitungan kami, harusnya energi terbarukan itu 3-4 gigawatt setiap tahun kapasitas tambahannya. Bahkan bisa lebih tinggi lagi. Kalau dengan mencapai target 23% [bauaran EBT] tahun 2025 saja, dalam 3 tahun kedepan itu harus 3000-4000 MW per tahun. Kalau mau 34% tahun 2030 lebih banyak lagi yang harus dikejar,” ujarnya.

Baca Juga :   Pertamina Foundation Libatkan Mahasiswa Mengakselerasi Transisi Energi

Pasokan listrik yang berlebih ini punya implikasi serius, karena saat pembangkit terus ditambahkan, tetapi permintaan listrik tidak meningkat dengan cepat. Kondisi ini, menurut Fabby, “akan memperparah persoalan overcapacity itu.”

Tantangan lainnya dalam transisi energi ini, menurut Fabby adalah dari PLN sendiri. Kecepatan dalam penambahan energi terbarukan sangat tergantung pada kemampun PLN untuk menyerap.

“Menyerap itu dimulai dari proses lelang. Ada target-target RUPTL. Tetapi kita lihat juga RUPTL tidak bisa dilaksanakan. Jadi, proses pengadaan itu sejauh ini masih belum optimal. Kalau pun sudah ada pengadaan, belum tentu eksekusinya bisa mulus,” ujarnya.

Hambatan lainnya, menurut Fabby adalah ketersediaan pendanaan untuk energi terbarukan. Menjadi sulit karena yang menjadi acuan adalah tarif rata-rata produksi listrik yang masih didominasi oleh batubara.

Saat ini, menurut Fabby, rata-rata harga produksi listrik menurut data Kementerian ESDM sekitar US$7 sen hingga US$8 sen. Tetapi komponen utama pembentuk harga rata-rata itu dihasilkan dari batubara yang harga di dalam negerinya masih menggunakan skema capping di level US$70 per ton.

Baca Juga :   Pertemuan Terakhir Task Force ESC B20 Indonesia Hasilkan Rancangan Kebijakan Transisi Energi untuk Dunia

“Sehingga ketika PLN ingin membeli harga energi terbarukan, dia harus bisa memastikan ini harus cukup kompetif dengan harga itu, kalau nanti akan menaikkan biaya produksi listrik. Kalau naik biaya produksi listrik, subsidi nambah, kompensasi nambah, margin PLN turun. Agak kompleks persoalannya,” ujarnya.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics