
IESR: Pemerintah Perlu Rombak Strategi untuk Kejar Bauran Energi Terbarukan 23% di 2025

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR/Dok.IESR
Realisasi energi terbarukan hingga akhir tahun 2022 lalu masih jauh dari target. Investasi di sektor ini pun masih minim. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa perkembangan ini menjadi lampu kuning bagi pemerintah untuk segera merombak strateginya dalam mencapai target 23% bauran energi terbarukan pada 2025, dan mencapai net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Hingga akhir tahun 2022 lalu, bauran energi terbarukan di pembangkitan listrik tercatat sebesar 14,5% dengan kapasitas energi terbarukan yang terpasang sebesar 12.542 MW atau 12,5 GW. Kapasitas terpasang ini melebihi target 2022, namun masih jauh dari target minimal 24 GW di 2025. Rendahnya bauran energi terbarukan di pembangkitan listrik merefleksikan capaian bauran energi terbarukan di energi primer yang hanya mencapai 12,3% (data sementara KESDM) pada 2022.
“Ketertinggalan pembangunan energi terbarukan di sektor kelistrikan dalam 3 tahun terakhir menunjukan ada kekeliruan dan minimnya terobosan dalam strategi pengembangan energi terbarukan,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dikutip dari keterangan pers, Kamis (2/2).
Menurut Fabby, sejak 2019, kapasitas pembangkit energi terbarukan hanya tumbuh 2 GW, hanya 25% dari kapasitas yang diperlukan untuk mencapai target 23%, sesuai amanat PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
“Pengembangan energi terbarukan tersandera dengan dilanjutkannya pembangunan PLTU di program 35 GW padahal target pertumbuhan permintaan listrik tidak tercapai, dan keengganan PLN untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dengan dalih over capacity,” ujarnya.
Menurut IESR, pemanfaatan energi surya secara masif dan gotong royong seharusnya menjadi langkah strategis pemerintah untuk mencapai target bauran energi terbarukan. Tahun 2021, PLTS atap menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan target 3,6 GW hingga 2025.
Tetapi, menurut IESR, program PLTS atap ini terganjal oleh keengganan PLN menerapkan Permen ESDM No. 26/2021. Dari target kapasitas terpasang energi surya 893 MW di 2022, yang tercapai hanya 270 MW. Bukannya lebih ambisius, di 2023, pemerintah justru menurunkan target pegembangan energi surya hingga separuhnya dari 2022 menjadi 430 MW. Ketegasan dan kejelasan aturan yang mendorong adopsi PLTS sudah selayaknya pemerintah tunjukkan.
“Perkembangan energi terbarukan, khususnya PLTS atap terhadang kepentingan PLN untuk mengejar pertumbuhan penjualan listrik untuk menyerap kelebihan pasokan. Rencana didieselisasi 500 MW PLTD hingga 2024 juga terkendala oleh proses lelang PLN dan minimnya minat investor sehingga realisasinya masih belum ada. Oleh karenanya, pemerintah harus mencari terobosan untuk mengakselerasi PLTS atap. Diperlukan dukungan langsung dari Presiden Jokowi dalam bentuk perintah tegas kepada PLN untuk mengakselerasi perkembangan energi terbarukan dengan sisa dua tahun ini, mengejar 10 GW target di RUPTL dan mengintegrasikan PLTS atap untuk mencapai target PSN,” lanjut Fabby.
Selain itu, pemerintah perlu menyegerakan pelaksanaan Perpres No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, terutama dengan merilis peta jalan penghentian pengoperasian PLTU batubara dan penyusunan rencana investasi yang dimaktubkan dalam kemitraan transisi energi berkeadilan (Just Energy Transition Partnership/JETP).
Halaman BerikutnyaLeave a reply
