
IESR Beberkan Ramalan Suram Industri Batubara Indonesia; Daerah Penghasil Harus Lakukan Transformasi Ekonomi

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.
Setelah digunakan sejak era revolusi industri (1760 – 1830), batubara diramalkan akan ditinggalkan sebagai sumber energi. Cadangannya memang masih cukup banyak, tetapi dampak negatifnya terhadap lingkungan membuat manusia memalingkan muka ke sumber energi primer yang lebih ramah lingkungan.
Gambaran suram masa depan batubara ini dibeberkan oleh Institute for Essential Services Platform (IESR), sebuah lembaga kajian energi di Jakarta dalam seminar beratajuk ‘Sunset PLTU dan Industri Batubara: Meninjau Arah & Dampak Multisektoral dalam Transisi Energi Berkeadilan’ yang digelar di Jakarta, Rabu (27/9).
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan memang bila melihat produksi dan harga batubara dalam dua tahun terakhir, batubara masih menjadi andalan, jauh dari gambaran sebagai industri yang sunset.
Produksi batubara Indonesia tahun 2022 lalu mencapai hampir 700 juta ton, tertinggi sepanjang sejarah. Sebanyak 70% dari produksi tersebut diekspor.
Lonjakan produksi batubara di Indonesia ini terjadi karena krisis energi yang diakibatkan oleh perang Ukraina dan Rusia yang menyebabkan permintaan terhadap sumber energi fosil itu meningkat tajam karena adanya pembatasan pasokan gas ke Eropa.
Akibat pembatasan pasokan gas ke Eropa, harga batubara membara hingga menyetuh US$400 per ton. Alhasil, dua tahun terkahir, terang Fabby, adalah era keemasan industri batubara. Banyak sekali perusahaan batubara yang membukukan keuntungan yang sangat luar biasa besar. Bagaimana tidak untung, biaya produksi 1 ton batubara hanya US$30-US$35, sementara harga ekspor mencapai US$300 hingga US$400 per ton.
“Oleh karena itu, ketika kemudian hari ini kita membicarakan sunset PLTU dan industri batubara, mungkin banyak yang bertanya-tanya, apakah ini hoax atau ini buat menakuti-nakuti?” ujar Fabby.
IESR sendiri, tambah Fabby sebenarnya bukan baru kali ini mengingatkan berakhirnya era batubara ini. Sejak 2019, lembaga ini sudah berkali-kali menyampaikan Indonesia harus mengantisipasi sunset industri batubara.
Tentu bukan tanpa alasan ramalan itu dilontarkan. Fabby menyampaikan secara umum penggunaan batubara menunjukkan tren penurunan.
Apa indikasinya? Pertama, proyek PLTU baru di negara-negara non OECD di luar Tiongkok mengalami penurunan drastis dalam 10 tahuan terakhir. Pada tahun 2019, jumlah proyek PLTU yang ada dalam pipeline atau yang direncanakan mencapi 181 GW di negara-negara OECD di luar Tiongkok, termasuk Indonesia. Pada tahun 2022, proyek PLTU yang direncanakan itu sudah terpangkas menjadi 85 GW.
Salah satu penyebab menurunnya jumlah proyek PLTU ini, menurut Fabby, karena masalah pendanaan. Sejak tahun 2019, bank-bank sudah tidak lagi mendanani pembangunan PLTU baru. Sebagian besar pembangunan PLTU yang terjadi dalam 10 tahun terakhir itu juga didanai oleh Tiongkok. Tetapi sejak Oktober 2019, pemerintah Tiongkok tidak lagi memberikan pendanaan untuk pembangunan PLTU baru di luar negara itu.
Indikasi kedua penurunan peggunaan batubara adalah, saat ini makin banyak negara yang beralih ke energi terbarukan, sebagai upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menahan laju perubahan iklim. Tren beralih ke energi terbarukan ini juga terjadi di Tiongkok dan India, dua negara konsumen batubara terbesar di dunia.
Fabby mengatakan di negara seperti Amerika Serikat dan Eropa, listrik yang dihasilkan batubara, harganya jauh lebih mahal daripada listrik yang dihasilkan energi terbarukan.
International Energy Agency (IEA) memperkirakan pada tahun 2030, secara global akan terjadi penurunan 11% konsumsi batubara global dibandingkan tahun 2023. Fabby mengatakan penurunan 11% itu adalah skenario konservatif karena IEA melihat masih ada pertumbuhan konsumsi batubara di Tiongkok dan India, walaupun setelah tahun 2025 kemungkinan situasi di Tiongkok dan India akan berbeda.
Di beberapa negara lain, konsumsi batubara masih meningkat akibat proyek-proyek PLTU yang baru beroperasi karena dalam 10 tahun terakhir masih ada pembangunan PLTU. Tetapi, meurut Fabby, pasca tahun 2030, kondisi kemungkinan akan berubah.
Bagaimana dengan kondisi di Indonesia?
Fabby mengatakan, IESR memperkirakan permintaan batubara domestik juga akan mencapai puncaknya pada tahun 2030. Setelah itu akan turun secara cepat.
Apa dasarnya? Merujuk Peraturan Presiden No.112 tahun 2022, pasal 3, dinyatakan bahwa ‘pemerintah tidak lagi mengizinkan pembangunan PLTU baru selain yang sudah direncanakan.’
Fabby mengungkapkan saat ini proyek PLTU yang sudah direncanakan akan dibangun karena sudah ada kontrak, berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 sebesar 13,6 GW.
“Apakah semuanya akan terbangun? Ini yang masih pertanyaan. Kenapa? karena beberapa PLTU itu dimiliki oleh investor dari Tiongkok yang awalnya masih berharap ada pendanaan dari Tiongkok. Kajian kami sendiri melihat kira-kira ada potensi mungkin sekitar 4-5 GW PLTU itu mungkin tidak bisa mendapatkan pendanaan dari Tiongkok. Oleh karena itu bisa jadi dibangun, bisa jadi tidak,” ujarnya.
Perpres No.112 tahun 2022, tambah Fabby mengizinkan Pembangunan PLTU baru untuk industri terkait hilirisasi. Tetapi, ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, harus menurunkan emisi dari PLTU tersebut sebesar 35% setelah 10 tahun beroperasi. Penurunan emisi ini dilakukan dengan berbagai opsi seperti menggunakan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) atau Carbon Capture, Utilizaton and Storage (CCUS), menggunakan co-firing, atau menggunakan teknologi-teknologi lain.
Kemudian syarat kedua adalah PLTU tersebut harus sudah face out pada tahun 2050. “Jadi, misalnya dibangun 2030, tahun 2050 harus sudah di face out,” ujar Fabby.
Saat ini, jelas Fabby, pemerintah melalui Kementerian ESDM juga sedang menyusun peta jalan pengakhiran pengoperasian PLTU. Pemerintah rencananya mengakhiri operasional PLTU pada tahu 2050.
Saat ini, setidaknya terdapat 45 GW PLTU yang beroperasi di sistem PLN. Terhadap PLTU-PLTU ini, PLN pun mulai melakukan upaya-upaya penurunan emisi gas rumah kaca dengan melakukan program co-firing yaitu mensubtitusi batubara dengan biomassa. Targetnya 10% dari batubara itu bisa disubtitusi tahun 2025, meski kemungkinan mundur karena kesulitan pasokan biomassa.
Dengan program co-firing mensubtitusi 10% batubara dengan biomassa, Fabby memperkirakan akan ada pengurangan konsumsi batubara sebesar 8 juta ton hingga 10 juta ton dari program tersebut. Tahun 2022 yang lalu, konsumsi batubara PLN mencapai 130 juta ton. IESR memperkirakan konsumsi batubara PLN ini mencapai puncaknya pada tahun 2028-2029 yaitu sbesar 170 juta ton hingga 180 juta ton.
Di sisi lain, seperti tren global, di Indonesia sendiri juga ada tren peningkatan energi terbarukan. Sampai tahun 2025, rencana umum energi nasional menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23%.
Namun, Fabby mengatakan dengan adanya kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP), ditargetkan bauran energi terbarukan di tahun 2030 mencapai 34%.
Artinya, ke depan pembangunan pembangkit energi terbarukan akan jauh lebih besar. Implikasinya, kapasitas PLTU pun harus diturunkan dan berimplikasi pada penurunan konsumsi batubara.
“Intinya, di Indonesia konsumsi batubara domestik kita setelah 2030 itu akan berkurang. Seberapa cepat penurunan itu, masih banyak faktor yang mempengaruhi. Estimai IESR bisa mencapai 15-20% setelah 2030,” ujarnya.
Selain PLTU dalam sistem PLN, juga masih ada PLTU Captive – yang dioperasikan dan dipakai di luar jaringan PLN oleh industri – yang sedang dibangun dan akan beroperasi dalam 2-3 tahun mendatang. Namun, PLTU-PLTU ini yang sebagian besar untuk proyek hilirisasi mineral kemungkinan tidak akan berusia sampai 30 tahun sesuai dengan cadangan mineral.
“Jadi, kami melihat bahwa peak konsumsi batubara domestik dengan kombinasi antara PLN dan captive power/non PLN itu di kisaran tahun 2030-2035,” ujar Fabby.
Bagaimana dengan pasar ekspor?
Fabby mengatakan 70% batubara Indonesia diekspor dan berkontribusi 17% pada devisa ekspor dan sekitar 4% pada produk domestik bruto Indonesia. Sebanyak 60% dari ekspor tersebut, dilakukan ke Tiongkok dan India. Kedua negara ini pun sudah menetapkan target net zero emission, masing-masing tahun 2060 untuk Tiongkok dan tahun 2070 untuk India.
Pemerintah Tiongkok menetapkan peak emission pada tahun 2030. Namun, diperkirakan akan lebih awal dengan melihat perkembangan energi terbarukan di negara itu, serta kenyataan PLTU di Tiongkok semakin tidak efiseien.
“Implikasinya adalah kita harus mengantisipasi setelah 2025 permintaan impor batubara dari China terutama dari pasar Indonesia itu akan menurun,”ujarnya. Apalagi China juga mendiversifikasi sumber batubaranya setelah normalisasi hubungan dengan Australia.
Sementara India, menurut Fabby, saat ini sedang mempersiapkan untuk meningkatkan lagi target energi terbarukan di tahun 2030 dan menurunkan kapasitas PLTU di tahun 2030.
“Walaupun pemerintah India sampai hari ini belum berkomitmen untuk melakukan penghentian [PLTU], tetapi mereka berusaha untuk mencapai net zero emission di tahun 2070. Mereka juga memprioritaskan penggunaan energi terbarukan,”ujarnya.
Tren serupa juga terjadi di negara tujuan ekspor batubara Indonesia lainnya seperti Malaysia, Filipina dan Vietnam.
“Semua negara ini telah menetapkan target net zero emission dan juga sudah mempunyai rencana untuk menghentikan pembangunan PLTU baru. Malaysia misalnya sudah punya kebijakan itu. Vietnam juga hal yang sama, karena Vietnam hari ini juga sedang menyiapkan Comprehensive Investment Plan untuk melaksanakan JETP,” ujar Fabby.
Implikasi ke Ekonomi Daerah
Melihat tren di berbagai negara tujuan ekspor ini, IESR memperkirakan ekpsor batubara kemungkinan akan turun setelah tahun 2025.
“Apabila permintaan domestik dan ekspor batubara turun, maka produksinya pasti turun. IESR mengestimasikan bahwa Indonesia punya waktu 5-10 tahun untuk melakukan penyesuaian dengan melakukan transformasi ekonomi di daerah-daerah penghasil batubara di Indonesia seiring dengan turunnya produksi batubara yang berpengaruh terhadap berkurangnya permintaan negara dan daerah penghasil batubara,” kata Fabby.
Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan IESR menyatakan, transisi energi akan berdampak terhadap daerah penghasil batubara di Indonesia, seperti Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dan Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.
Berdasarkan laporan IESR berjudul Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim menemukan bahwa kontribusi produk domestik regional bruto (PDRB) sekitar 50 persen di Muara Enim dan dan 70 persen di Paser selama satu dekade terakhir.
Selain itu, dana bagi hasil (DBH) dari pajak dan royalti pertambangan batubara berkontribusi signifikan pada pendapatan pemerintah (APBD) hingga 20 persen di Muara Enim dan rata-rata 27 persen di Paser.
“Analisis modelling input-output kami di Kabupaten Muara Enim menunjukkan batubara hanya memberikan nilai tambah berupa kompensasi sekitar 20 persen bagi pekerja, dibandingkan 78 persen yang digunakan untuk perusahaan batubara itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun kontribusi PDRB sektor pertambangan tinggi, antara 50 persen di Muara Enim dan 70 persen di Paser, tidak mencerminkan terdistribusinya manfaat bagi masyarakat lokal dan tidak banyak menimbulkan efek berganda (multiplier effect) yang besar,” jelas Ilham.
Ilham menegaskan bahwa daerah penghasil batubara memerlukan transformasi ekonomi untuk memangkas ketergantungan tinggi terhadap ekonomi yang berasal dari batubara. Kajian IESR menemukan beberapa sektor unggulan yang bisa dikembangkan seperti di Kabupaten Paser, dapat mengembangkan Jasa Keuangan, Manufaktur dan Pendidikan. Sedangkan di Kabupaten Muara Enim, dapat mengembangkan Manufaktur dan Penyediaan Akomodasi serta Makan Minuman.
Leave a reply
