Fokus Jaga Stabilitas Rupiah yang Terguncang karena Perang di Timur Tengah, Alasan Bank Indonesia Tahan BI Rate di Level 6%

0
41

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia [RDG] pada 15-16 Oktober 2024 memutuskan menahan BI Rate pada level 6%, demi menjaga nilai tukar rupiah yang selama Oktober ini kembali melemah imbas perang di Timur Tengah.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan, meski menahan suku bunga acuan, arah atau stance kebijakan moneter Bank Indonesia tetap sama seperti RDG September, yaitu pro stabilitas, sekaligus pro pertumbuhan ekonomi.

“Mulai bulan lalu, stance kebijakan moneter kita tidak hanya [untuk menjaga] stabilitas [nilai tukar rupiah], tetapi [juga] mendorong pertumbuhan ekonomi. Sehingga bulan lalu, kita mulai menurunkan BI Rate 25 bps [basis poin] dan bahkan kita menyampaikan bahwa BI akan mencermati ruang penurunan suku bunga, dengan tetap memperhatikan prospek inflasi, nilai tukar rupiah dan pertumbuhan ekonomi,” jelas Perry dalam konferensi pers, Rabu (16/10).

Perry mengatakan, pandangan Bank Indonesia terhadap arah kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve [The Fed], juga tidak mengalami perubahan. 

Bank Indonesia, kata dia, tetap memperkirakan The Fed akan melanjutkan pemangkasan Fed Fund Rate, pada November 2024 dan Desember 2024, masing-masing 25 basis poin. 

Baca Juga :   Tiga Pertimbangan BI Menaikkan Suku Bunga Acuan, Apa Saja?

Dengan demikian, The Fed menurunkan suku bunga acuannya sebesar 100 basis poin pada tahun ini, setelah sebelumnya pada September sudah menurunkan sebesar 50 basis poin menjadi 4,75-5,0%.

“Tahun depan, [penurunan Fed Fund Rate] bisa tiga kali, bisa empat kali, [sebesar] 75 basis poin atau 100 basis poin,” ujarnya.

Namun, Perry mengatakan, penurunan Fed Fund Rate bukan satu-satunya faktor eksternal yang mempengaruhi masuknya aliran modal asing ke Indonesia.

Tetapi, jelasnya, Bank Indonesia juga mencermati imbal hasil dari surat utang pemerintah Amerika Serikat atau US Treasury notes tenor dua tahun dan 10 tahun.

Imbal hasil instrumen surat utang ini, jelas Perry, tidak hanya dipengaruhi oleh Fed Fund Rete, tetapi juga kebijakan fiskal Amerika Serikat dan ketegangan geopolitik, terutama saat ini adalah perang di Timur Tengah.

Perry mengatakan, dalam RDG September lalu, Bank Indonesia menyatakan, imbal hasil US Treasury notes dua tahun dan 10 tahun menurun, tetapi saat ini kembali naik imbas perang di Timur Tengah.

Baca Juga :   Bank Indonesia Kembali Pertahankan Suku Bunga Acuan di 3,5%

Seiring dengan itu, indeks dolar Amerika Serikat (DXY) pun kembali naik. Bila bulan lalu berada di level 101, bahkan mengarah ke 100, saat ini akibat perang di Timur Tengah, DXY kembali ke level 103, bahkan menyentuh 103,6.

Karena imbal hasil US Treasury notes naik, yang mendorong penguatan indeks dolar, Perry mengatakan, fokus kebijakan moneter Bank Indonesia dalam jangka pendek adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, karena ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat.

Meski demikian, tambahnya, ke depan ruang penurunan BI Rate masih terbuka.

“Arahnya, kami melihat masih ada ruang penurunan suku bunga ke depan, cuma masalah timing dan magnitudenya, yang tentu saja kita akan mengukur, tergantung data. Tetapi arahnya ke sana,” ujarnya.

“Untuk bulan ini, karena ketidakpastian pasar keuangan global, kami fokus dulu pada stabilitas nilai tukar rupiah,” tambahnya.

Rupiah selama Oktober ini memang mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat. Setelah menyentuh di bawah 15.200 pada akhir September, rupiah melemah ke level di atas 15.500 pada Oktober ini.

Baca Juga :   Jelang Pengumuman Hasil RDG, Apakah Bank Indonesia Pangkas BI Rate Sebelum The Fed?

“Kami masih meyakini nilai tukar akan stabil dan cenderung menguat,” kata Perry.

Pelemahan nilai tukar rupiah akhir-akhir ini, akibat perang di Timur Tengah, kata Perry lebih bersifat teknikal. Dalam jangka panjang, rupiah akan cenderung menguat didukung data fundamental seperti imbal hasil instrumem investasi di Indonesia yang menarik, inflasi yang stabil dan defisit transaksi berjalan terjaga dalam kisaran rendah sebesar 0,1% sampai dengan 0,9% dari PDB.

“Jadi, [defisit] current account [neraca transaksi berjalan] itu masih mendukung stabilitas eksternal kita, kecuali kalau sudah 2% ke atas, kita harus mulai jaga-jaga,” kata Perry.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics