Ekonom Senior INDEF, dari Sisi Perdagangan Dampak Tarif Impor Amerika Serikat Relatif Moderat

0
91

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Fadhil Hasan, menilai dampak tarif impor 32% dari pemerintah Amerika Serikat atas produk Indonesia relatif moderat dibandingkan beberapa negara di Asia seperti Vietnam dan Thailand.

Fadhil mengatakan Amerika Serikat memang merupakan salah satu mitra dagang penting bagi Indonesia, selain China.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2024 nilai ekspor non migas Indonesia ke Amerika Serikat mencapai US$26,31 miliar, atau 10,57% dari total ekspor non migas Indonesia yang mencapai US$248,83 miliar.

Niali ekspor tersebut, kata Fadhil, memang “cukup besar”. Tetapi, menurut dia, Indonesia  tidak terlalu tergantung kepada Amerika sebagaimana halnya negara lain di Asia Tenggara, seperti Vietnam dan  Thailand.

“Jadi, bisa dikatakan menurut pendapatan saya, kalau dari sisi perdagangan impact yang akan ditimbulkan oleh kebijakan Trump ini, resiprokal tarif itu, bagi perdagangan Indonesia itu mungkin moderat,” ujar Fadhil dalam diskusi INDEF, Jumat (4/4).

Fadhil mengatakan, meski dampak dari sisi perdagangan moderat, beberapa produk ekspor Indonesia yang terdampak kebijakan tarif impor 32% tersebut adalah tekstil, garmen, alas kaki, dan minyak sawit (palm oil).

“Ada sekitar 10 besar produk ekspor kita ke Amerika ini yang saya kira akan terdampak oleh kebijakan itu. Tetapi, kalau menurut saya, karena tarif ini berlaku bagi semua negara, terutama bagi negara-negara pesaing kita, seperti Vietnam, kemudian Malaysia, Thailand, dan seterusnya, mungkin mereka juga menghadapi hal yang sama. Bahkan mungkin bagi Vietnam atau pun Malaysia itu akan menghadapi level tarif yang lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia,” ujarnya.

Baca Juga :   Gencatan Senjata di Gaza Dinilai Cukup Memulihkan Kondisi Ekonomi Global

“Oleh karena itu, saya kira dampaknya itu mungkin akan moderat,” ujarnya.

Dari sisi neraca perdagangan, tambahnya, Amerika Serikat memang merupakan salah satu negara penyumbang surplus perdagangan terbesar bagi Indonesia.

Mengutip data BPS, pada 2024 neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat mengalami surplus sebesar US$ 16,84 miliar.

Komoditas penyumbang surplus terbesar adalah mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya sebesar US$3,68 miliar, pakaian dan aksesorisnya sebesar US$2,48 miliar dan alas kaki sebesar US$2,33 miliar.

Selain Amerika Serikat, mitra dagang utama Indonesia yang terbesar adalah China. Pada 2024, nilai ekspor non migas Indonesia ke China mencapai US$60,22 miliar atau menyumbang 24,2% dari total ekspor non migas Indonesia pada 2024.

Namun, perdagangan Indonesia dengan China pada 2024 mengalami defisit sebesar US$11,4 miliar.

Selain China dan Amerika, mitra dagang utama Indonesia juga adalah India. Pada 2024, total ekspor non migas Indonesia ke India mencapai US$20,32 miliar atau 8,17% dari total ekspor non migas Indonesia.

Indonesia mengalami surplus perdagangan dengan India sebesar US$15,38 miliar pada 2024.

Baca Juga :   Indef: Jangan-jangan Ini Titik Permulaan untuk Jatuh ke Jurang yang Lebih Dalam

Fadhil mengatakan, selain implikasi dari sisi perdagangan, tarif impor 30% oleh pemerintah Amerika Serikat juga berimplikasi pada depresiasi nilai tukar Rupiah.

Depresiasi nilai tukar ini terjadi karena kebijakan tarif impor 32% ini dikhawatirkan akan membuat produk- produk yang dijual di Amerika semakin mahal sehingga memberikan tekanan terhadap inflasi di negara itu.

Bila inflasi di Amerika Serikat meningkat, tambahnya, maka bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, berupaya menjinakannya dengan menaikkan tingkat suku bunga atau setidaknya tidak akan menurunkan lagi suku bunganya. 

“Maka terjadi capital outflow karena obligasi yang dijual Amerika itu akan semakin tinggi yield-nya sehingga mungkin akan terjadi outflow dari negara-negara emerging market ke Amerika. Ini yang kemudian menyebabkan depresiasi lebih lanjut dari nilai tukar Rupiah kita,” ujarnya.

Bila nilai tukar Rupiah melemah atau depresiasi, tambannya, maka akan berdampaknya ke mana-mana, seperti bunga utang dan tekanan pada kondisi fiskal Indonesia.

“Jadi, saya kira selain dampak terhadap perdagangan, dampak terhadap depresiasi nilai tukar Rupiah itu juga perlu kita antisipasi,” ujarnya.

Lantas apa yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia?

Fadhil mengapresiasi respons pemerintah yang akan melakukan dialog dengan pemerintah Amerika Serikat, alih-alih membuat kebijakan retaliasi atau pembalasan.

Baca Juga :   Indef: Optimalisasi Pengawasan IKNB, Bukan OJK Dikembalikan ke BI

“Saya sepakat dengan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia itu,” ujarnya.

Namun, dalam jangka menengah dan panjang, menurut Fadhil, kebijakan tarif impor 32% dari pemerintah Amerika Serikat itu harus disikapi dengan mengurangi ketergantungan hubungan dagang dengan Amerika Serikat.

Ia mendorong agar Indonesia terus melakuan diversifikasi negara tujuan ekspor ke negara-negara yang lebih ramah. Pemerintah, tambahnya, bisa menggunakan forum-forum multilateral untuk bisa memaksimalkan hubungan dengan negara-negara lain.

Dari sisi internal, pemerintah menurut Fadhil juga perlu menjaga ketahanan ekonomi domestik agar bisa memitigasi dampak yang ditimbulkan dari kemungkinan terjadinya depresiasi nilai tukar Rupiah.

“Kalau kita lihat, terjadinya depresiasi nilai tukar Rupiah akhir-akhir ini disebabkan oleh faktor-faktor yang sifatnya internal, seperti kekhawatiran pasar atau publik terhadap berbagai agenda ekonomi kita sendiri, seperti MBG [Makan Bergizi Gratis], Danantara, kemudian Koperasi Merah Putih dan banyak lainnya,” ujarnya.

Kekhawatiran-kekhawatiran pasar dan publik seperti itu, tambahnya, mesti direspons pemerintah dengan melakukan evaluasi terhadap program-program tersebut dengan menjamin keberlanjutan fiskal pemerintah.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics