Ekonom Paramadina Ungkap 2 Pelajaran Penting dari Krisis Srilanka untuk Indonesia

0
587

Pengalaman bangsa lain harus menjadi perhatian bersama Indonesia yang sangat dinamis perkembangannya. Termasuk krisis yang terjadi di Srilanka dan Pakistan.

Menurut Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin, krisis Srilanka tak lepas dari kondisi Asia Selatan yang terbilang sangat unik di dunia. “Antara lain pertama, di kawasan yang kecil seperti Srilanka, bermukim 25% penduduk bumi. Kehidupan politik sangat dinamis dan amat mendominasi. Kedua, kawasan Asia Selatan sarat konflik kepentingan internal dan persaingan politik antar negara-negara Pakistan, Bangladesh dan India sendiri yang pada 1947 merdeka. Pakistan dan Bangladesh memisahkan diri dari India pada 1971,” kata Wijayanto dalam keterangan tertulis.

Secara geopolitik dunia, kawasan tersebut menjadi titik strategis dari negara-negara besar Rusia, Amerika Serikat (AS) dan China. Rusia berkepentingan mencari partner negara yang mempunyai akses ke laut hangat, dan AS mencari proxy Pakistan. Untuk mengimbangi pengaruh Rusia di Asia Selatan.

Wijayanto yang juga Stafsus Wapres Bidang Ekonomi tahun 2104-2019 ini mengungkapkan bahwa China juga berkepentingan menyukseskan agenda BRI (Belt and Road Initiative) dengan mencari mitra strategis guna mewujudkan agenda BRI melalui fasilitas pinjaman kepada negara-negara di dunia, khususnya di kawasan Asia Selatan.

Baca Juga :   Harga Minyak Dunia Turun karena Data Perekonomian Tiongkok

“Agenda BRI berintikan menyukseskan program China untuk menyukseskan ekspor produk-produk China atau impor bahan baku yang dibutuhkan dalam negeri/industri China. Kehadiran China sebagai aktor baru di Asia Selatan menjadikan kawasan itu semakin dinamis,” kata Wija.

Ia menyatakan bahwa hal itu berpengauh, sehingga di Pakistan ada perseterusan AS dan China, di Nepal ada persaingan India dan China. Di Srilanka pun ada perseteruan antara India dan China. Faktor proyek-proyek China/BRI di Srilanka menjadi salah satu faktor yang kemudian membangkrutkan ekonomi Srilanka. Bukan faktor terpenting tapi salah satu faktor pendorong kebangkrutan.

Wija menegaskan bahwa Asia Selatan juga merupakan kawasan supplier buruh migran ke seluruh dunia. Terbesar dari India dan Pakistan, lalu Bangladesh dan Srilanka. Banyaknya buruh migran dari Asia Selatan disebabkan oleh terbatasnya resources dari wilayah tersebut yang harus dibagi kepada 1,9 miliar penduduk Asia Selatan.

“Karenanya, warga mencari resources baru yang lebih besar dan tersedia di belahan dunia lain terutama negara-negara maju dan timur tengah. Banyaknya buruh migran itu juga menjadi transfer devisa penting bagi negara India, Pakistan, Bangladesh, Nepal dan Srilangka.  Yang menarik, ketika terjadi krisis di satu negara Asia Selatan, maka transfer remittance dari buruh migran menjadi membesar. Ada semacam solidaritas dari buruh migran kepada negara-negara bersangkutan ketika mendapat masalah ekonomi,” lanjutnya.

Baca Juga :   Harga Minyak Internasional Alami Penurunan karena 2 Hal Ini, Apa Saja?

Kondisi pandemi yang melanda dunia mengakibatkan transfer devisa yang semula cukup membantu bagi keseimbangan ekonomi bagi negara-negara Asia Selatan menjadi drastis menurun. Kucuran dana dari luar negeri terhenti. Hal itu akibat krisis Covid-19 yang terjadi merata di seluruh dunia. Bantuan solidaritas dari buruh migran di seluruh dunia kepada Asia Selatan menjadi ikut terhenti.

“Bagi kawasan Asia Selatan yang mempunyai alam indah, turisme menjadi faktor penerimaan penting. Terutama bagi Srilanka yang populasinya 22 juta jiwa dan menerima turis 2,5 juta orang/tahun dalam kondisi normal. Devisa dari turisme tiba-tiba anjlok karena Covid-19 dan ketika akan recovery, mendadak terjadi krisis perang Rusia dan Ukraina. Warga Rusia adalah turis nomor satu di Srilanka. Nomor 3 adalah warga Ukraina. Bisa jadi di Rusia banyak muncul orang kaya baru sehingga di manapun di dunia turisme selalu ada warga Rusia,” kata Wija.

Menurut Wija, struktur ekonomi dan kondisi ekonomi Srilanka agak mirip dengan Indonesia sehingga membedah Srilanka amat penting bagi Indonesia sebagai pembelajaran. Wija juga menggarisbawahi bahwa image Srilanka yang kacau dan rusuh, mau tidak mau ikut memperparah situasi. Turisme, investasi, obligasi juga pasti terpengaruh menurun. Recovery Srilanka menjadi terhambat.

Baca Juga :   Pasca IPO, KLIN Lakukan Ekspor Perdana ke AS di Agustus

Wija menyimpulkan atas hal yang terjadi di Srilanka “Pertama, demokrasi yang terdegradasi ada begitu banyak aktivitas anti demokrasi yang dilakukan para politisi Srilanka. Kedua, akibat demokrasi yang terdegradasi muncul politisi dan pemerintahan yang lalai dan corrupt hasilnya kerap muncul kebijakan yang buruk. Tidak untuk kepentingan rakyat tapi untuk interest kelompok, investor politik, etnis. Kondisi Srilanka yang seperti itu, merupakan warning bagi Indonesia untuk sekadar mengingatkan jika ada hal-hal yang sama terjadi di Indonesia,” kata Wija.

Menurut Wija, karena buruknya kebijakan, maka akibatnya fiskal bangkrut dan masyarakat Srilanka sengsara. Ia mengatakan karena Srilanka tidak mempunyai lagi cukup valas untuk membayar utang-utang luar negeri yang dulu dibayar antara lain dengan devisa remittance buruh migran dan investasi, turisme.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics