
EBT Disebut Kunci Atasi Efek Karbon Dioksida, PLN Beberkan Cara untuk Mewujudkannya

Tangkapan layar, Direktur Manajemen Risiko PLN Suroso Isnandar/Iconomics
PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN menyebut bahwa efek emisi karbon dioksida saat ini harus segera diatasi dengan beralih ke energi baru terbarukan (EBT). Karena itu, PLN telah memasukkan prinsip dasar untuk mengurangi efek karbon dioksida dalam perencanaan perusahaan.
Direktur Manajemen Risiko PLN Suroso Isnandar mengatakan, dalam penyusunan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelumnya, PLN berorientasi kepada security of supply yang fokus pada energi termurah milik Indonesia. Namun, melihat kondisi saat ini, kata Suroso, PLN mengubah RUPTL sebelumnya, dan menggantinya dengan program net zero emission di masa mendatang.
“Maka kita membuat RUPTL yang paling hijau dalam sepanjang sejarah Indonesia. Di RUPTL 2021 itu kami tuliskan hingga 2040, dalam skenario akselerasi energi terbarukan,” kata Suroso di acara Tripatra Engineering Sustainable Summit di Pullman Hotel Central Park, Jakarta, Jumat (13/10).
Di samping itu, kata Suroso, PLN berencana membangun pembangkit listrik berbasis EBT dengan kapasitas sebesar 62 gigawatt (GW) atau sekitar 62 ribu megawatt (MW). “Jadi, 62 ribu megawatt itu kurang lebih bisa mengaliri listrik 80 juta rumah. Itu adalah cita-cita kita ke depan dalam menekan emisi ini,” ujar Suroso.
Langkah konkret yang dilakukan PLN, kata Suroso, membuat moratorium untuk menghentikan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan kapasitas 13,3 GW. Juga menghentikan power purchase agreement, yang secara legal sudah memiliki keterikatan.
Selanjutnya, kata Suroso, pihaknya telah mengkonversi PLTU sebesar 800 MW menjadi pembangkit listrik berbasis gas. Gas dinilai memiliki emisi yang lebih kecil dibandingkan dengan batu bara dan menjadi salah satu upaya PLN untuk menekan efek emisi karbon dioksida.
Meski demikian, kata Suroso, untuk menuju energi yang lebih hijau, terdapat beberapa tantangan yang harus diantisipasi untuk diselesaikan. Soalnya listrik merupakan komoditas yang berbeda dengan komoditas yang ada saat ini.
Apabila komoditas lain bisa diproduksi dan disimpan, ujar Suroso, berbeda dengan listrik yang bisa diproduksi, namun tidak bisa disimpan. Karenanya, pembangkit listrik perlu dijaga agar dapat memenuhi kebutuhan listrik di dalam negeri.
Di sisi lain, kata Suroso, energi terbarukan membutuhkan teknologi yang memiliki variabel tinggi. Untuk itu, PLN harus bisa mengkonversikan teknologi yang ada saat ini menjadi teknologi yang memiliki variabel tinggi tersebut.
“Memanfaatkan teknologi yang berbasis variabel ini teknologi yang bisa menggantikan base loader kita yang banyak. Itu tantangan secara teknis. Tentu ada tantangan lain finansial, maupun tantangan bagaimana kita membangun ekosistem pembangkit listrik,” ujarnya.
Leave a reply
