
Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Pertamina, PPATK: Pemufakatan Jahat hingga Mark Up Harga

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar (kiri)/Dok. Kejagung
Penyidikan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), sub-holding dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) periode 2018-2023 masih terus berlangsung hingga saat ini. Terbaru, penyidik memeriksa 3 orang saksi terdiri atas ANW menjabat Manager Treasury PT Pertamina Patra Niaga); TAW menjabat Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional; dan AA menjabat Manager QMS PT Pertamina (Persero).
“Ketiganya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Yoki Firnandi yang merupakan Direktur Utama PT Pertamina International Shipping,” tutur Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (3/3).
Harli mengatakan, di samping ketiga orang itu, penyidik pun memeriksa 7 orang tersangka sebagai saksi untuk tersangka Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga Edward Corne.
Terkait dengan kasus ini, Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) rupanya punya cerita. Hasil analisis PPATK rupanya sudah pernah diserahkan kepada penyidik tanpa menjelaskan nama lembaga penegak hukumnya, namun tidak ada perkembangan setelah sekian lama.
Karena itu, kata Ketua Tim Humas PPATK Natsir Kongah, pihaknya lantas mengirimkan hasil analisis dan pemeriksaan tersebut kepada Kejaksaan Agung (Kejagung). Gayung bersambut, karena penyidik Kejagung sedang menyelidiki kasus yang sama.
“Indikasi terjadi pemufakatan jahat antara oknum di Pertamina dan pihak terkait lainnya, dilakukan dengan modus manipulasi dalam pengadaan, termasuk pengaturan produksi minyak mentah, impor, dan penyalahgunaan pembelian produk kilang. Juga dugaan mark-up kontrak pengiriman yang menyebabkan harga menjadi lebih tinggi,” tutur Natsir dalam keterangannya di Jakarta beberapa waktu lalu.
Di samping itu, kata Natsir, alih-alih memprioritaskan minyak mentah domestik, Pertamina justru mengimpor minyak mentah dan produk kilang dari luar negeri. Tindakan ini mengabaikan pasokan minyak bumi dari dalam negeri yang seharusnya dapat memenuhi kebutuhan nasional.
“Kasus ini menunjukkan bagaimana penyimpangan dalam tata kelola minyak mentah, mulai dari pengabaian regulasi hingga praktik manipulasi dan kolusi. Kejahatan yang telah merugikan keuangan negara ini perlu menjadi perhatian kita bersama,” kata Natsir.
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan 9 orang sebagai tersangka. Mereka adalah Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin, dan Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi, serta VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono. Kemudian, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga Edward Corne.
Selanjutnya, dari pihak swasta ada Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Untuk sementara ini, Kejagung menghitung dugaan korupsi tata kelola minyak di Pertamina dengan kerugian negara setidaknya Rp 193,7 triliun. Dugaan korupsi terjadi pada 5 komponen yang menyebabkan kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp 35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp 2,7 triliun, kerugian impor BBM melalui broker sekitar Rp 9 triliun, kerugian pemberian kompensasi tahun 2023 sekitar Rp 21 triliun.
Seperti analisis PPATK, Kejagung menyebut dugaan korupsi dalam kasus ini di antaranya menyatakan kilang milik Pertamina tak bisa mengolah minyak mentah dalam negeri sehingga harus impor dengan harga digelembungkan. Juga mengimpor bensin RON 90 dengan harga RON 92 dan menjadikannya bensin RON 92 dengan dioplos. Tindakan ini berlangsung dalam kurun 2018-2023.
Leave a reply
